Pancasila Buddha – 5 Nilai Moral dan Penerapannya

6 min read

Pancasila Buddha - 5 Nilai Moral dan Penerapannya

5 Pancasila Buddha

Pancasila Buddha adalah 5 ajaran dasar moral agama Buddha, yang ditaati oleh para pengikut Siddhartha Gautama. Sang Buddha bersabda bahwa, “Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam dhamma, selalu berbicara benar dan memenuhi segala kewajibannya, maka semua orang akan mencintainya (Dhammapada, XVI: 217).

Dalam ajaran agama Buddha, seseorang yang menaati dan menjalani kelima nilai Pancasila secara utuh telah dianggap menerapkan dharma (kebenaran absolut yang kekal dan abadi) dalam setiap aspek kehidupannya.


Isi 5 sila dalam Pancasila Buddha yaitu:

1. Pannatipata veramani sikkhapadang sammadiyammi

Berarti saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup.

2. Adinnadana veramani sikkhapadang sammadiyammi

Yang artinya saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari mengambil sesuatu yang tidak diberikan.

3. Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami

Berarti saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila.

4. Musavadha veramani sikkhapadang samadiyami

Yang artinya saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari menghindari ucapan tidak benar.

5. Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami,

Berarti saya bertekad akan melatih diri untuk menghindari mengonsumsi segala zat yang dapat menyebabkan menurunnya kesadaran (Narkoba).


Ajaran dasar moral agama Buddha

Pancasila adalah ajaran dasar moral agama Buddha, yang ditaati oleh para pengikut Siddhartha Gautama.

Kata Pancasila ini berasal dari bahasa Sanskerta pañcaśīla dan bahasa Pali pañcasīla yang berarti berarti Lima Kemoralan atau Lima Nilai Moral.


Pancasila Buddha - 5 Nilai Moral dan Penerapannya
Pancasila Buddha – 5 Nilai Moral dan Penerapannya. Sumber foto: Wikimedia Commons

Penerapan Pancasila Buddha dalam Kehidupan Sehari-hari

1. Pāṇatipātā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi – Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup

Sebagai umat Buddha seharusnya menghindarkan diri dari pembunuhan makhluk hidup. Kita tidak boleh membunuh dari hewan yang paling kecil seperti semut, kutu sampai hewan yang besar.

Suatu pembunuhan telah terjadi apabila terdapat 5 faktor, yaitu:
  • Adanya makhluk hidup.
  • Mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup.
  • Berniat untuk membunuh.
  • Melakukan usaha untuk membunuh.
  • Makhluk tersebut mati karena usaha itu.

Apabila terdapat faktor-faktor tersebut di atas dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Karena sila sangat berpengaruh pada kamma, dan kamma inilah yang akan membawa ke mana kita akan terlahir kembali.

Untuk itu hindarkanlah diri kita dari perbuatan pembunuhan. Senantiasa menginginkan kesejahteraan bagi semua makhluk dilandasi dengan rasa cinta kasih. Jadi seorang umat yang melanggar pembunuhan hidupnya tidak tenang, umurnya relative pendek, dan cenderung memiliki penyakit.

Dalam Saṁyutta Nikāya (III, 15) Buddha mengajarkan: “Pembunuh melahirkan pembunuh”.

Dikisahkan seperti cerita dari keturunan Raja Bimbisara. Keturunan Raja Bimbisara ini adalah mereka yang membunuh ayahnya masing-masing. Salah satu anaknya dari Raja Bimbisara yaitu Raja Ajatasattu yang membunuh Raja Bimbisara (ayahnya sendiri). Ini adalah kisah singkat mengenai pembunuh melahirkan pembunuh.

Baca juga ? Siddhartha Gautama (563–483 SM) – Filsuf Buddha

2. Adinnādānā veramaṇi sikkhāpadaṁ samadiyāmi – Aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian. Semua agama juga mengajarkan untuk tidak mencuri

Dalam Agama Buddha, mencuri adalah pelanggaran sila kedua. Dalam Pancasila Buddha, sila ke-2 mengajarkan bahwa akibat mencuri dapat membawa penderitaan bagi si pencuri itu sendiri.

Hal ini diuraikan jelas di dalam kitab Saṁyutta Nikāya (III, 15), ketika beliau berkata kepada para bhikkhu bahwa manusia mencuri akan berakibat:

“Ia akan terus merampok/mencuri, hingga saat tindakan tersebut menjadi penyebab kematiannya”.

Jadi si pelaku itu akan terus mencuri, sebelum dia menyesal bahwa pencurian mengakibatkan dia terlahir di alam rendah. Untuk itu dia harus menyadari bahwa mencuri itu adalah perbuatan yang buruk serta melanggar sila. Akibat melanggar sila ini adalah si pelaku terlahir di alam Apaya.

Suatu pencurian telah terjadi bila terdapat lima faktor, sebagai berikut:
  • Suatu barang milik orang lain.
  • Mengetahui bahwa barang itu ada pemiliknya.
  • Berniat untuk mencurinya.
  • Melakukan usaha untuk mengambilnya.
  • Berhasil mengambil melalui usaha itu.

Yang dimaksud dengan berhasil melalui usaha itu adalah apabila barang itu telah berpindah dari tempat semula. Misalnya seseorang mengambil handphone, dan handphone itu sudah berpindah dari tempatnya, itu sudah dikatakan mencuri.

Contohnya lagi, ketika seseorang mencuri dan tiba-tiba pemiliknya datang, kemudian ia mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, ia sudah dikatakan mencuri, karena barang tersebut sudah berpindah dari tempatnya.

Pelanggaran sila berakibat sangat buruk, sesuai dengan kekuatan kehendak untuk mencuri, nilai barang yang dicuri dan tingkat kemajuan rohani pemiliknya (orang suci). Bila kita tidak mau kehilangan apa yang kita miliki, kita tidak boleh mengambil barang milik orang lain. Seseorang hendaknya memiliki rasa saling menghargai kepemilikan orang lain terhadap benda tersebut. Jadi dengan menghargai kepemilikan orang lain, kita juga menghargai benda yang kita miliki.

3. Kāmesu micchācārā veramaṇi sikkhāpadaṁ samādiyāmi – Aku bertekad untuk menghindarkan diri dari perbuatan asusila

Menahan diri merupakan hal yang terpenting dalam Buddhisme. Untuk itu kita harus menjaga perilaku kita sebaik mungkin, agar pelanggaran sila ketiga ini tidak muncul. Perilaku seksual bermacam-macam, di antaranya: Berzinah, Perkosaan dan Perselingkuhan.

Suatu tindakan asusila telah terjadi bila terdapat lima faktor yang terdiri dari:

  • Orang yang tidak patut untuk disetubuhi
  • Mempunyai niat untuk menyetubuhi orang tersebut
  • Melakukan usaha untuk menyetubuhinya
  • Berhasil menyetubuhinya
Mengenai orang yang tidak patut disetubuhi (agamaniaoutthu) adalah wanita-wanita sebagai berikut:
  • Di bawah perlindungan ibunya (maturakkhita)
  • Di bawah perlindungan ayahnya (piturakkhita)
  • Dalam perlindungan ayah dan ibunya (matapiturakkhita)
  • Dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhginirakhita)
  • Dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (bhaturakkhita)
  • Dalam perlindungan sanak keluarganya (natirakkhita)
  • Dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhita)
  • Dalam perlindungan pelaksanaDharma (dhammarakkhita)
  • Yang sudah dipinang oleh raja atau orang-orang yang berkuasa (saparidanda)
  • Yang sudah bertunangan (sarakkheta)
  • Yang sudah dibeli oleh seorang lelaki, atau telah digadaikan oleh orangtuanya (dhanakkheta)
  • Yang tinggal oleh lelaki yang dicintainya (chandavisini)
  • Yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan harta benda (bhagavasini)
  • Yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan barang-barang sandang (patavansini)
  • Resmi menjadi istri seorang lelaki dalam suatu upacara adat istiadat (odapattagagini)
  • Yang menjadi istri seorang lelaki yang membebaskannya dari perbudakkan (abhatasumbatta)
  • Tawanan yang kemudian dikawini oleh seorang laki-laki (dhajabata).
  • Pekerja yang dikawini oleh majikannya (kammakaribhariya).
  • Budak yang kemudian dikawini oleh majikannya (dasibhari).
  • Yang menjadi istri seorang lelaki dalam jangka waktu tertentu (muhuttika)

Yang dimaksudkan dengan berhasil menyetubuhi adalah berhasil memasukkan alat kelaminnya ke dalam salah satu dari rahim, dubur dan mulut walaupun sedalam biji wijen.

Pelanggaran ini akan berakibat buruk, yang berat ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan cara pelaksanaannya, serta status atau tingkat rohani dari wanita yang bersangkutan, misalnya seorang bhikkhuni atau mereka yang telah mencapai kesucian.

Buah kamma yang kita dapat, apabila kita melanggar sila ketiga yaitu kita tidak disenangi teman dan  mempunyai pasangan hidup yang tidak disenangi orang lain.

4. Musāvādā veramaṇī sikkhā-padaṁ samādiyāmi – Aku bertekad akan melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar

Sebagai umat Buddha harus menghindari berkata yang tidak benar / berbohong, serta selalu berkata yang sopan agar selalu tercipta suasana yang tenang, damai dan harmonis sebab tidak ada kebohongan di antara semua orang. Dalam Pancasila Buddha, sila ke-4 mengajarkan bahwa ucapan yang baik, akan tercipta suasana yang tenang, karena tidak ada kebohongan diantara semuanya.

Sang Buddha bersabda:

“Seseorang seharusnya mengucapkan hanya ucapan yang menyenangkan, ucapan yang disambut dengan gembira. Ketika diucapkan tidak membawa keburukan, apa yang diucapkan adalah menyenangkan bagi orang lain”.

(Saṁyutta Nikāya, 2010 : 287)

Adapun syarat terjadinya kebohongan adalah:
  • Terdapat sesuatu hal yang tidak benar
  • Memiliki niat atau maksud untuk menyesatkan
  • Mengeluarkan usaha untuk menyesatkan
  • Mengakibatkan orang lain jadi tersesat

Seorang umat hendaknya menghindari perkataan yang tidak benar dan selalu mengucapkan kata-kata yang sopan. Sehingga, di dalam hidup bermasyarakat akan tercipta suasana yang tenang, karena tidak ada kebohongan diantara semuanya.

Musavada telah terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari:
  • Sesuatu atau hal yang tidak benar.
  • Mempunyai niat untuk menyesatkan.
  • Berusaha untuk menyesatkan.
  • Orang lain jadi tersesat.

Buddha mengajarkan bahwa “ seseorang seharusnya mengucapkan hanya ucapan yang menyenangkan, ucapan yang disambut dengan gembira. Ketika diucapkan tidak membawa keburukan apa yangdiucapkan adalah menyenangkan bagi orang lain” (Samyutta Nikaya, 2010 :287).

Dalam kehidupan sehari-hari kita hendaknya berbicara dengan benar dan gembira. Suatu perkataan itu mengandung makna dan bermanfaat. Sehingga orang yang mendengar akan senang dengan ucapan kita.

Dalam Kakacupama Sutta Majjhima Nikaya 1, Buddha mengatakan bahwa, ucapan benar dapat terjadi apabila terdapat 5 syarat sebagai berikut:
  • Ucapan itu tepat pada waktunya
  • Ucapan itu sesuai kebenaran
  • Ucapan itu lembut
  • Ucapan itu bermanfaat
  • Ucapan itu penuh cinta kasih.

Penjelasan di atas merupakan syarat dari ucapan benar. Seorang umat Buddha sebaiknya, melakukan 5 syarat di atas. Ucapan benar akan menimbulkan kebijaksanaan, menciptakan perdamaian dan menghilangkan perpecahan.

Ucapan yang tidak benar ini akan menimbulkan kamma buruk bagi pelakunya. Diantaranya, tidak dipercayai oleh orang lain, dan menderita karena dia telah mengucapkan perkataan yang tidak benar. Untuk itu hindarilah ucapan berbohong dan selalu mengucapkan kata-kata yang benar dan bermanfaat.

5. Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā veramaṇī sikkhā-padaṁsamādiyāmi – Aku bertekad akan melatih diri menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran

Kata “Surāmeraya Majjapamādaṭṭhānā” terdiri empat kata, yaitu Sura, Meraya, Majja, serta Pamadatthana. “Meraya” adalah minuman keras yang terbuat dari bahan yang diragikan serta dapat membuat peminumnya kehilangan kesadaran. Apabila kadarnya tinggi, maka disebut “Sura.” Sedangkan “Majja” berarti berbagai jenis ganja, heroin, morfin, dan bahan-bahan candu lainnya.

Sementara itu, “Pamadatthana” terdiri dari dua kata; “Pamado” yang artinya kelengahan, kecerobohan, kelalaian, serta “Thana” yang artinya landasan atau basis. Oleh karena itu, “Pamadatthana” artinya dasar atau landasan dari kelengahan, kecerobohan, dan kelalaian.

Seseorang yang melanggar sila kelima ini dan akhirnya kehilangan kesadaran bisa mengakibatkan hilangnya juga kendali atas pikiran, ucapan, dan perbuatan sehingga tanpa sadar dapat melakukan hal yang mendatangkan karma buruk.

Adapun pelanggaran sila-kelima dari Pancasila Buddha ini terjadi jika:
  • Terdapat sesuatu yang menyebabkan lemahnya kesadaran
  • Memiliki niat atau maksud untuk meminum atau menggunakannya
  • Meminum dan menggunakannya
  • Muncul gejala-gejala mabuk
  • Mabuk (kesadaran hilang)

Hilangnya pengendalian terhadap kesadaran dapat mengakibatkan hilangnya pengendalian terhadap pikiran, ucapan dan perbuatan. Seseorang yang melanggar sila kelima ini kesadarannya hilang, dan dia dapat melakukan apa saja yang dapat membahayakan dirinya sendiri.

Tujuan dari pelaksanaan Pancasila Buddha, sila kelima ini adalah untuk melatih kesadaran kita terhadap segala hal yang dapat memperlemah pengendalian diri dan kewaspadaan.

Dengan kita mengontrol pikiran dengan benar, dan selalu waspada terhadap segala tindakan yang kita perbuat. Jadi, waspadalah terhadap semua tindakan yang akan kita perbuat.

Dari uraian-uraian di atas, dapatlah kita ketahui bahwa peranan pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari sangat bermanfaat terlebih-lebih pada zaman sekarang. Dimana zaman sekarang banyak umat Buddhis yang moralitasnya turun. Di samping moralitas mulai turun, mereka juga belum mengerti sepenuhnya tentang akibat pelanggaran pancasila Buddhis.

Dengan penerapan pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari diharapkan semua umat awam menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Pancasila Buddhis


Bacaan Lainnya

Unduh / Download Aplikasi HP Pinter Pandai

Respons “Ooo begitu ya…” akan lebih sering terdengar jika Anda mengunduh aplikasi kita!

Siapa bilang mau pintar harus bayar? Aplikasi Ilmu pengetahuan dan informasi yang membuat Anda menjadi lebih smart!

Sumber bacaan: Medium, Center for Buddhist Studies

Pinter Pandai “Bersama-Sama Berbagi Ilmu”
Quiz | Matematika | IPA | Geografi & Sejarah | Info Unik | Lainnya | Business & Marketing

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *