Lir-Ilir Penciptanya Adalah Sunan Kalijaga (Salah Satu Dari Wali Songo) – Lirik Bahasa Jawa, Indonesia, Inggris

8 min read

Lir-Ilir Penciptanya Adalah Sunan Kalijaga (Salah Satu Dari Wali Songo) - Bahasa Jawa, Indonesia, Inggris

Lagu Lir-Ilir

Lagu-lagu Lir-Ilir lebih dari sekedar lirik & irama, kata-katanya mengandung filosofi hidup. Penciptanya adalah Sunan Kalijaga (Salah Satu Dari Wali Songo). Dengan lagu ini, kita harus sadar, kemudian bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas dan lebih mempertebal keimanan yang telah ditetapkan oleh Allah

Lagu ini berbicara tentang ajakan untuk berdoa bersama.
Lagu ini penuh dengan maksud yang baik.

Lirik Lir-Ilir

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot ira
Dodot ira, dodot ira kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana jlumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
Yo surak a… surak hore…

Terjemahan lirik Lir-Ilir

ꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦭꦶꦂꦲꦶꦭꦶꦂꦠꦤ꧀ꦢꦸꦫꦺꦮꦸꦱ꧀ꦱꦸꦩꦶꦭꦶꦂ
Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumilir
(Bangunlah, bangunlah, tanaman sudah bersemi)
(Wake up, wake up, the plants already blossomed)

ꦠꦏ꧀ꦲꦶꦗꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴꦫꦺꦴꦪꦺꦴ
Tak ijo royo royo
(Tanaman sudah bersemi)
(Plants have blossomed)

ꦠꦏ꧀ꦱꦺꦁꦒꦸꦃꦠꦺꦩꦤ꧀ꦠꦺꦤ꧀ꦲꦚꦂ
Tak sêngguh têmantèn anyar
(Demikian menghijau bagaikan pengantin baru)
(They were green as newlyweds)

ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦕꦃꦲꦔꦺꦴꦤ꧀ꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦧ꧀ꦭꦶꦩ꧀ꦧꦶꦁꦏꦸꦮꦶ
Cah angon cah angon peneknå blimbing kuwi
(Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu)
(Shepherd, Climb the star fruit tree.)

ꦭꦸꦚꦸꦭꦸꦚꦸꦥꦺꦤꦺꦏ꧀ꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦩ꧀ꦧꦱꦸꦃꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫ
Lunyu lunyu peneknå kanggo mbasuh dodot-irå (dodot sirå)
(Walaupun licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaianmu)
(Go on and climb the tree, even though it is hard and slippery; to wash your clothes)

ꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦢꦺꦴꦢꦺꦴꦠꦶꦫꦏꦸꦩꦶꦠꦶꦂꦧꦺꦝꦃꦲꦶꦁꦥꦶꦁꦒꦶꦂ
Dodot-irå (dodot sirå) dodot-irå (dodot sirå) kumitir bêdhah ing pinggir
(Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping)
(Your clothes were torn in the side)

ꦢꦺꦴꦤ꧀ꦢꦺꦴꦩꦤꦗ꧀ꦭꦸꦩꦠꦤꦏꦁꦒꦺꦴꦱꦺꦧꦩꦺꦁꦏꦺꦴꦱꦺꦴꦫꦺ
Dondomånå jlumatånå kanggo sebå mêngko sore
(Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore)
(Stitch and reform it together and to worship this evening)

ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦥꦝꦁꦫꦺꦩ꧀ꦧꦸꦭꦤꦺ
Mumpung padhang rêmbulane
(Mumpung bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang)
(While the moon was shining brightly and a lot of free time)

ꦩꦸꦩ꧀ꦥꦸꦁꦗꦺꦩ꧀ꦧꦂꦏꦭꦔꦤꦺ
Mumpung jêmbar kalangane
(Mumpung banyak waktu luang)
(While there is still a lot of free time)

ꦪꦱꦸꦫꦏꦱꦸꦫꦏ꧀ꦲꦶꦪ
Yå surakå surak-iyå
(Bersoraklah dengan sorakan iya)
(Shouted to cheers: yes)

Lir-Ilir Penciptanya Adalah Sunan Kalijaga (Salah Satu Dari Wali Songo) - Bahasa Jawa, Indonesia, Inggris
Lirik: Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot ira
Dodot ira, dodot ira kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana jlumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
Yo surak a… surak hore…
Sumber foto: Wikimedia Commons. Ilustrasi: PINTERpandai.com

Video Lir-Ilir versi moderen

Video Lir-Ilir versi lagu anak-anak, beserta artinya

Makna dan Penjelasan Lagu Lir-Ilir

1. Lir-Ilir

(Bangunlah)
(Bangun)
Makna dari bait ini adalah sunan sebagai dakwah yang mengimbau masyarakat untuk segera bangkit dari keterpurukan dan bersama-sama menuju ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, sunan juga mengajak masyarakat untuk bergegas menyongsong era baru. Dan salah satu hal yang lebih baik dan era baru adalah Islam dengan keterbukaan hati dan kegembiraan.

2. Lir-Ilir, tandurè wus sumilir

(Bangunlah, tanaman sudah bersemi)
(Bangun, tanaman sudah mekar)

Dalam perspektif Jawa, kata “sumilir” diartikan sebagai kondisi di mana tanaman padi sudah hampir siap untuk dipanen. Berdasarkan Saussure dan teorinya tentang tanda (petanda dan penanda), kata “sumilir” di sini adalah penanda yang menandakan Islam pada masa itu; Islam sebagai agama yang dikatakan siap untuk dianut.

Hal ini karena; Keberadaan sunanlah yang menyebarkan Islam sebelumnya. Karena itu, masyarakat harus segera bangun dan bergerak menyambut Islam. Mengapa tanaman padi selain tanaman lain? Mengapa tidak menggunakan tanaman lain? Hal ini karena pada tahun 1470 ketika Sunan Kalijaga menyebarkan agama, mayoritas penduduk Jawa (khususnya di Jawa Timur) menanam padi sebagai tanaman pangan mereka. Dan nasi merupakan makanan pokok masyarakat jawa. Dengan kata lain, beras dipilih sebagai penanda kedekatan hubungan dengan masyarakat setempat.

3. Tak ijo royo-royo tak sengguh temantèn anyar

(Demikian menghijau bagaikan pengantin baru)
(Mereka hijau seperti pengantin baru)

Warna hijau yang dipilih dalam lirik ini karena “ijo” (hijau) merupakan warna penanda yang menandakan kebesaran Islam. (Bahkan beberapa partai Islam di Indonesia menggunakan warna hijau sebagai warna parpolnya, seperti: PKB dan Bulan Bintang). Apalagi masyarakat Jawa saat itu menganggap tanaman hijau sebagai tanaman yang rimbun. Apalagi mereka juga mengklaimnya sebagai pertanda baik yang menandakan panen berlimpah.

Dengan demikian, bait ini menggunakan kata “ijo” sebagai indikator yang menunjukkan kedatangan Islam adalah suatu hal yang membanggakan dan menyenangkan, seluruh masyarakat harus menyambutnya dengan suka cita; kegembiraan yang sama seperti saat acara pengantin baru digelar.

4. Cah angon, cah angon, pènèkna blimbing kuwi

(Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu)
(Gembala, Panjat pohon belimbing)

Gembala dalam bait ini melambangkan seorang pemimpin. Dan belimbing di sini telah dipilih sebagai penanda yang menandakan rukun Islam (karena belimbing memiliki lima gerigi atau lima sisi), di antaranya: syahadat, sholat, sedekah, puasa, dan haji. Rukun Islam kelima harus diambil oleh seluruh umat Islam, meski harus melalui jalan yang sulit yang penuh perjuangan.

Kemudian yang dimaksud bait ini adalah pemimpin harus memimpin masyarakat untuk taat pada rukun Islam. Mengapa harus menjadi pemimpin yang disebutkan dalam bait tersebut? Hal ini sejalan dengan teori Foucault tentang kekuasaan. Foucault melihat kekuasaan sebagai subjek yang merupakan produk dari kekuasaan. Dengan kata lain, pengertian kekuasaan tidak hanya bersifat represif tetapi juga produktif. Dengan demikian, kata “cah angon” yang artinya pemimpin di sini menegaskan harapan Sunan Kalijaga agar pemimpin menjadi panutan masyarakat. Begitu pemimpin memberi contoh atau sikap yang baik maka akan diikuti oleh masyarakat. Selain itu, ini adalah harapan; jika pemimpin menganut Islam dan mematuhi semua lima rukun Islam, masyarakat mungkin melakukan hal yang sama.

5. Lunyu lunyu yo pènèken kanggo mbasuh dodotiro

(Walaupun licin dan susah tetaplah kau panjat untuk membasuh pakaianmu)
(Pergilah dan panjat pohon itu, meskipun keras dan licin; untuk mencuci pakaian Anda)

Bait ini dengan jelas menyatakan bahwa sunan menginginkan pemimpin memimpin masyarakat untuk taat pada lima rukun (yang telah disebutkan sebelumnya), meskipun jalannya panjang dan tidak semudah kelihatannya. Meski demikian, Sunan Kalijaga berharap masyarakat tetap berada di jalur yang benar untuk menaati kelima pilar itu sebagai goyang untuk mencuci “dodotiro” atau pakaiannya.

Budaya Jawa, mengenal dodotiro sebagai jenis kain tertentu yang hanya digunakan pada upacara-upacara penting saja, seperti pernikahan dan upacara lainnya. Dalam hal ini, kata “dodotiro” atau pakaian berarti hati, sikap, jiwa, dan pikiran. Lebih lanjut, sunan menghimbau umat untuk terus menerapkan kelima rukun Islam tersebut sebagai penawar hati kotor yang penuh dengki dan cemburu, sekaligus sebagai pedoman dalam berperilaku, penentraman jiwa manusia, serta batasan yang kita jadikan sebagai pertimbangan dalam cara berpikir dan cara hidup kita.

6. Dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir

(Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping)
(Pakaianmu robek di samping)

Arti dari ayat ini adalah hati, sikap, jiwa, dan pikiran yang telah terkoyak dan tidak sebersih dulu; itu telah menjadi bagian dari individu, yang harus segera diperbaiki.

Sekali lagi, kata dodotiro digunakan dalam ayat ini – Itu karena Sunan Kalijaga ingin menunjukkan bahwa ayat tersebut sangat menghargai jati diri orang Jawa.

Buktinya, dodotiro dipilih sebagai simbol dibanding kain lain, seperti sutra China yang sama-sama terkenal saat itu. Ini dilakukan dengan tujuan; Orang Jawa akan merasa dekat dengan ayat tersebut dan merasa dihargai. Dengan kata lain, Sunan Kalijaga menggunakan norma-norma Jawa yang bertentangan dengan kearifan budaya Jawa untuk mempertegas makna ayat agar mudah diterima masyarakat. Senada dengan Derrida yang mengatakan ada dua cara dalam memilih identitas sosial seseorang, yaitu: berdasarkan identitas ras dan identitas etnisnya. Sunan Kalijaga mengambil sisi kanan, yaitu dalam bidang ras dan etnis dalam pembuatan syair ini.

7. Dondomana jrumatana kanggo sèba mengko sorè

(Jahitlah, benahilah untuk menghadapi nanti sore)
(Jahit dan perbaiki bersama dan untuk beribadah malam ini)

Arti ayat ini adalah untuk memperbaiki hati yang rusak, sikap, jiwa, dan pikiran perlu dibangun kesadaran dan kemauan. Manusia adalah
gampang teralihkan, cenderung menurunkan kualitas ibadah dan menjalankan kewajiban diri sendiri, jika tidak diimbangi dengan perbaikan manajemen. Oleh karena itu, manusia diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahi agar kelak manusia siap bila suatu saat dipanggil kepada Tuhan.

Ayat ini mengandung kiasan – metafora yang melambangkan kata “dondomana” (menjahitnya) dengan kata “jrumatana” (memperbaikinya), mencari makna baru yaitu makna membersihkan diri sebelum layak untuk ditemui dan menyembah Tuhan. Lalu, mengapa harus beribadah pada malam hari? Masyarakat jawa percaya bahwa waktu sakral adalah saat terjadi peralihan konduksi antara siang ke malam atau lebih sering disebut “surup-surup” oleh orang Jawa yang artinya Beberapa menit sebelum adzan magrib dikumandangkan.Orang jawa menganggap waktu ini sakral karena mereka percaya, di masa-masa ini banyak hal buruk terjadi, seperti munculnya setan yang sering mengganggu masyarakat.Oleh karena itu, Sunan Kalijaga memanfaatkan amanah tersebut dan menasehati orang untuk tetap tinggal di rumah atau di masjid untuk mengamankan diri sambil mengingat Tuhan agar terhindar dari bahaya.Oleh karena itu pengertian bahwa salah satu cara menghindari bahaya adalah dengan mengingat Tuhan.

8. Mumpung padhang rembulanè, mumpung jembar kalanganè

(Mumpung bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang)
(Saat bulan bersinar terang dan banyak waktu luang)

Cahaya bulan dalam ayat ini menandakan arti peristiwa yang masih bisa dilihat dengan jelas dengan kedua mata. Selain itu, sinar bulan juga diindikasikan sebagai tanda kesehatan. Hal ini selanjutnya didukung oleh perkataan kemudian yang menggunakan kata “Jembar” yang artinya terbuka lebar.

Jadi yang dimaksud ayat ini adalah ketika manusia sehat dan masih memiliki banyak waktu luang; manusia dipanggil untuk melakukan hal-hal yang telah diuraikan pada ayat sebelumnya (Kusumarini, 2012). Ayat ini memiliki norma bahwa meskipun ada kesempatan, orang harus menggunakannya dengan sebaik-baiknya, sebelum mereka menyesalinya.

9. Yo surako surak hiyo

(Bersoraklah dengan sorakan iya)
(Berteriak untuk bersorak: ya)

Ayat ini berarti bahwa jika semua kesepakatan yang dicapai sebelumnya di bait suci maka jawabannya berbarengan dengan kata “ya”. Jawabannya dilakukan sebagai tanda persetujuan atas semua isi ayat yang telah ditawarkan sebelumnya.

Ayat “surako surak hiyo” di sini sangat erat kaitannya dengan budaya Jawa yang selalu ingin bersatu dan bersatu saat senang atau sedih. Hal ini dibuktikan dengan adanya pepatah Jawa lainnya yang berbunyi: “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah: yen padha rukun mesti padha santosa, yen padha congkrah mesthi padha bubrah / rusak” (Sabda, Peribahasa Jawa).

Baca juga ? WR Supratman Pengarang Lagu Indonesia Raya, Ibu Kita Kartini dan Pahlawan Indonesia

Sejarah tembang Lir-ilir dari Sunan Kalijaga

Pencipta tembang Lir-ilir adalah Sunan Kalijaga, meskipun anggota Wali Songo yang lain juga memiliki tembang untuk media dakwah. Alasan mendasar dakwah menggunakan media tembang adalah untuk tidak mencoba melawan arus adat istiadat yang sudah lama berkembang yaitu Hindu-Buddha, hal tersebut mencoba memberikan makna tersirat yang terkesan sederhana namun mengandung makna yang dalam bila dicermati.

Pada awal mulanya Sunan Kalijaga menyebarluaskan kepada rakyat saat bersamaan mementaskan wayang purwa. Sunan Kalijaga bekerja sama dengan wali yang lain, seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Giri dalam menciptakan wayang sebagai sarana menyebarkan agama Islam. Wayang diciptakan berwujud empat tokoh Punakawan. Sunan Ampel menciptakan tokoh Semar, Sunan Bonang menciptakan Petruk, dan Sunan Giri menciptakan Gareng. Sedangkan Sunan Kalijaga sendiri menciptakan tokoh yang diberi nama Bagong.

Filsafat inilah yang diterapkan Wali Songo dalam dakwahnya begitupun Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir

Strategi dakwah ini sesuai dengan prinsip Wali Songo Kenå iwake ora buthek banyune artinya menangkap ikan harus dilakukan tanpa membuat air menjadi keruh. Filsafat inilah yang diterapkan Wali Songo dalam dakwahnya begitupun Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir. Sunan Kalijaga pada masa itu mencoba untuk mengajak masyarakat untuk memperbaiki kualitas moral namun upaya tersebut dikemas untuk tidak menimbulkan konflik terhadap Raja dan Nara Praja. Ajaran Islam diajarkan pelan-pelan melalui adat budaya yang ada. Syariat Islam diajarkan tanpa dikonfrontasikan dengan cara-cara beragama yang biasa dilakukan oleh orang Jawa.

Dengan runtuhnya Majapahit pada penghujung Abad ke-15 membuat kehidupan masyarakat saat itu teramat suram. Di mana-mana terjadi kerusuhan, perampokan, dan pembegalan. Korupsi merajalela sehingga ajaran agama yang telah subur kehilangan substansinya. Sehingga pada saat itu banyak Adipati yang kemudian memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyat luas terutama di Kadipaten pesisir utara Jawa. Pada awal abad ke-16 ini yang kemudian disebut oleh Sunan Kalijaga situasi yang terang dan lapang yang termaktub dalam bait mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane.

Maka Sunan Kalijaga menyampaikan kondisi ini kepada segenap Adipati sudah saatnya memperbaiki perilaku dan moral menurut syariat Islam. Sunan Kalijaga melakukan itu dengan sarana seni budaya tembang hingga berhasil.

Sunan Kalijaga mengajarkan Islam dengan melalui jalur budaya

Secara keseluruhan, salah satu cara menyebarkan Islam di Jawa adalah dengan dakwah (yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga). Jumlah sunan yang dikenal masyarakat ada sembilan. Semuanya hebat dalam menyebarkan Islam, namun demikian Salah satu yang paling mencolok adalah Sunan Kalijaga, hal ini dikarenakan Sunan Kalijaga memiliki cara yang sangat berbeda dengan sunan lainnya dalam menyebarkan Islam. Dengan kata lain, Sunan Kalijaga lebih memilih untuk mengajarkan Islam dengan cara yang tidak biasa, yaitu melalui jalur budaya. Sunan Kalijaga lebih sering dimainkan dengan menggunakan kata-kata yang pada akhirnya berdampak pada cara pandang atau arah pemikiran seseorang.

Kebudayaan melalui metode ceramah merupakan salah satu cara yang efektif untuk menyebarkan Islam; Padahal, pada masa lalu (13 M) masyarakat Jawa saat itu berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit yang mayoritas penduduknya non-Islam. Nyanyian lir-ilir merupakan salah satu bukti bahwa cara yang dilakukan Sunan Kalijaga sangat berbeda dan unik. Apalagi masyarakat tidak menyadari bahwa lagu yang dianggap sebagai tembang dolanan memiliki makna tersirat yang tersirat dalam cara hidup islami.

Nilai-nilai nyanyian lir-ilir

Secara garis besar nilai-nilai nyanyian lir-ilir dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu menjelaskan hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia. Pertama, lagu lir-ilir mengandung lima makna utama dalam ajaran Islamisasi, di antaranya: ajakan untuk mengenang pencipta, kesabaran untuk selalu berusaha, ajakan untuk selalu mencari ampunan dan taubat dari segala dosa, mengajarkan betapa berharganya waktu dan peluang dalam hidup ini, sekaligus sebagai refleksi diri untuk selalu mengingatkan akan kematian dan kiamat.

Kedua, lagu ini mengajarkan sebagai manusia kita harus menunjukkan rasa hormat, menghargai orang lain, sabar dan memberi nasehat satu sama lain atau bahkan mengingatkan kesalahan orang lain – apalagi kita juga berpesan untuk selalu melakukan apa yang baik dan menuntut serta mengajarkan ilmu pengetahuan. di sisi lain.

Bahkan pada bagian syair terakhir dijelaskan juga bahwa lir-ilir juga mengajarkan kebersamaan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Jawa. Oleh karena itu karena kandungan dan nilai nyanyian lir-ilir didalamnya; Lagu ini tetap relevan dengan budaya Jawa yang dikenal luas hingga saat ini.

Bacaan Lainnya

Sumber bacaan: Jawawa, Steemit

Pinter Pandai “Bersama-Sama Berbagi Ilmu”
Quiz | Matematika | IPA | Geografi & Sejarah | Info Unik | Lainnya | Business & Marketing

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *