G30S PKI – Sejarah Gerakan 30 September 1965 (Gestapu, Gestok) – Misteri Terus Berlanjut

25 min read

G30s pki lubang buaya

G30S PKI

Gerakan 30 September (dalam dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta (yang hampir sekaligus).

Sejarah yang asli harus ditulis, agar tidak akan terulang kembali!

Baca juga ? Kedutaan Besar AS Melacak Pembunuhan Massal G30SPKI Indonesia (1965) – Arsip Kedubes AS Jakarta Dibuka

 

Sekarang ada bukti bahwa Suharto mengatur pembunuhan G30SPKI 1965

Dilansir dari University of Melbourne – Australia, sekarang ada bukti bahwa Soeharto mengatur pembunuhan 1965.

Menurut narasi resmi negara, militer dipaksa turun tangan untuk menyelamatkan bangsa dari kudeta komunis yang gagal pada dini hari 1 Oktober 1965. Militer dan sumber dari Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa militer bertindak untuk mengakhiri sebuah Pemberontakan “spontan” oleh “rakyat” – sebuah “ledakan” dari “bentrokan komunal yang mengakibatkan pertumpahan darah” di seluruh negeri – ketika rakyat Indonesia biasa bangkit dalam kemarahan terhadap tetangga komunis mereka.

Peristiwa ini, yang secara pribadi dijelaskan oleh CIA sebagai “salah satu pembunuhan massal terburuk di abad ke-20”, secara kolektif dikenal di Indonesia sebagai “G30S / PKI” – sebuah nama yang menyiratkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas kegagalan tersebut. kudeta yang dipimpin oleh Gerakan 30 September (G30S). Temukan selanjutnya di bawah artikel ini…

Baca juga ? PKI Partai Komunis Indonesia – Sejarah, Pendiri, Tujuan, Bubarnya

 


Faktor penyebab terjadinya peristiwa g30s

Faktor-faktor penyebab munculnya G30S/PKI:

1. Kurangnya rasa tunduk atau patuh terhadap pancasila.
2. Kurangnya sifat kesatuan.
3. Tidak ada munculnya rasa perjuangan untuk melawan tindakan idiologi yang mencampuri pancasila.
4. Tidak ada rasa cinta terhadap cinta tanah air satu sama lain.
5. Tidak ada rasa kebersamaan.

Menjelang sore pada 30 September 1965, sekelompok konspirator angkatan darat yang menamakan dirinya Gerakan 30 September berkumpul di Jakarta dengan tujuan menculik dan membunuh 7 Jenderal Militer pada jam-jam awal pagi berikutnya. Menjelang subuh 1 Oktober, enam jenderal sudah mati; yang ketujuh, Abdul Nasution, telah melarikan diri. Kemudian pagi itu gerakan mengumumkan bahwa mereka telah mengambil alih kekuasaan untuk mencegah kudeta terhadap presiden oleh dewan jenderal. Sementara itu, Jenderal Suharto, komandan cadangan strategis tentara, mulai mengumpulkan kendali kekuasaan ke tangannya sendiri. Menjelang sore dia mengambil inisiatif dari para konspirator.

Partai Komunis Indonesia (PKI) menyatakan bahwa upaya kudeta adalah urusan internal tentara. Kepemimpinan militer, sebaliknya, bersikeras bahwa itu adalah bagian dari rencana PKI untuk merebut kekuasaan dan kemudian memulai misi untuk membersihkan negara dari ancaman komunis yang dirasakan.

Pada bulan berikutnya, militer membantai komunis dan dugaan komunis di seluruh Jawa dan Bali; perkiraan jumlah orang yang terbunuh berkisar antara 80.000 hingga lebih dari 1.000.000. Pada tahun-tahun berikutnya, komunis, tersangka komunis, dan keluarga mereka sering kali ditolak hak-hak dasarnya (misalnya, hak atas persidangan yang adil, hak atas kesempatan yang setara dalam pekerjaan, dan kebebasan dari diskriminasi). Antara 1969 dan 1980, sekitar 10.000 orang, terutama komunis yang dikenal atau mengaku, ditahan tanpa pengadilan di Pulau Buru di Maluku.

 

Mayjend suharto menghadiri pemakaman jendral g30s pki
Potret Mayjend Suharto menghadiri pemakaman 5 jenderal yang tewas dalam peristiwa G30 SPKI (Gerakan 30 September). Sumber foto: Wikimedia Commons

Tahun berapa g30spki terjadi?

Pada tahun 1965.

Jenderal yang selamat dalam peristiwa g30s PKI?

1. Brigjen Ahmad Soekendro

Brigjen Ahmad Soekendro selamat dari taget PKI. Saat agenda penculikam itu, dia keluar negeri menjalankan mandat Soekarno.

2. Jenderal Abdul Haris Nasution

Jenderal Besar TNI Dr. Abdul Haris Nasution adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh TNI AD yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September.

 


Apa tujuan G30S PKI?

Pemberontakan G-30-S-PKI yang dipimpin oleh DN. Aidit. Pemberontakan itu bertujuan untuk menyingkirkan TNI-AD sekaligus merebut kekuasaan pemerintahan.

Bahwa G30S PKI adalah perbuatan PKI dalam rangka usahanya untuk merebut kekuasaan pemerintah di negara Republik Indonesia dengan memperalat oknum ABRI sebagai kekuatan fisiknya, dan tidak pernah terlepas dari tujuan PKI untuk membentuk pemerintah Komunis.

Bahwa tujuan tetap komunis di Negara Non Komunis adalah merebut kekuasaan negara dan mengkomuniskannya.
Usaha tersebut dilakukan dalam jangka panjang dari generasi ke generasi secara berlanjut.

Selanjutnya bahwa kegiatan yang dilakukan tidak pernah terlepas dari rangkaian kegiatan komunisme internasional.

 


Nama nama 7 TOKOH Pahlawan Revolusi Korban Kekejaman G30S PKI 1965

Peristiwa G30S PKI sejatinya tidak lepas dari kejadian penculikan petinggi-petinggi TNI AD saat itu. Mereka diasingkan dan dibantai tanpa belas kasihan di Monumen Lubang Buaya. Berikut ini nama-nama TNI yang mendapatkan gelar Pahlawan Revolusi pasca terjadinya pembantaian tersebut.

1. Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
2. Mayjen TNI R. Suprapto.
3. Mayjen TNI M.T. Haryono.
4. Mayjen TNI Siswondo Parman.
5. Brigjen TNI DI Panjaitan.
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo.
7. Letnan Pierre Tendean.

 


Lubang buaya

Lubang Buaya adalah sebuah tempat di kawasan Pondok Gede, Jakarta yang menjadi tempat pembuangan para korban Gerakan 30 September pada 30 September 1965.

Secara spesifik, sumur Lubang Buaya terletak di Kelurahan Lubang Buaya di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Lubang Buaya pada terjadinya G30S saat itu merupakan pusat pelatihan milik Partai Komunis Indonesia. Saat ini di tempat tersebut berdiri Lapangan Peringatan Lubang Buaya yang berisi Monumen Pancasila, sebuah museum diorama, sumur tempat para korban dibuang, serta sebuah ruangan berisi relik.

Nama Lubang Buaya sendiri berasal dari sebuah legenda yang menyatakan bahwa ada buaya-buaya putih di sungai yang terletak di dekat kawasan Pondok Gede. Selain itu juga terdapat rumah yang di dalamnya ketujuh pahlawan revolusi yang disiksa dan dibunuh. Dan juga terdapat mobil yang digunakan untuk mengangkut orang-orang.

 

G30s pki lubang buaya
Sumur LUBANG BUAYA di mana tubuh 7 Jenderal dibuang selama gerakan G30S PKI. Sumber foto: Wikimedia Commons

Lubang buaya menjadi saksi bisu

Lubang buaya menjadi saksi bisu di mana 7 jenderal Indonesia diperlakukan kejam pada saat tragedi G30S PKI. 

Sumur Lubang Buaya merupakan sumur berdiameter 75 sentimeter dengan kedalaman 12 meter dan menjadi sumur maut bagi para korban kebiadaban PKI.

Lokasi ini pun menjadi saksi sejarah kekejian Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejarah berdarah tersebut selalu dikenang setiap tahunnya.

 


Cerita sejarah G30S PKI yang singkat

Pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965 secara berturut-turut RRI Jakarta menyiarkan berita penting.

Sekitar pukul 7 pagi memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 1965 di Ibukota RI, Jakarta, telah terjadi “ gerakan militer dalam AD “ yang dinamakan “ Gerakan 30 September”, dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno.

Sekitar pukul 13.00 hari itu juga memberitakan “ dekrit no 1” tentang “pembentukkan dewan revolusi Indonesia” dan “keputusan no.1” tentang “susunan dewan revolusi Indonesia”. Baru dalam siaran kedua ini diumumkan susunan “komandan”, Brigjen Soepardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Soenardi, dan Ajun komisaris besar polisi Anwas sebagai “wakil komandaan”.

Pada pukul 19.00 hari itu juga RRI Jakarta menyiarkan pidato radio Panglima Komando TJadangan Strategis Angkatan Darat, Mayor Jendral Soeharto, yang menyampaikan bahwa gerakan 30 September tersebut adalah golongan kontra revolusioner yang telah menculik beberapa perwira tinggi AD, dan telah mengambil alih kekuasaan Negara dari presiden/panglima tertinggi ABRI/pemimpin besar revolusi dan melempar Kabinet DWIKORA ke kedudukan demisioner.

Latar belakang G30S/PKI perlu ditelusuri sejak masuknya paham komunisme/marxisme-leninisme ke Indonesia awal abat ke-20 ,penyusupanya kedalam organisasi lain, serta kaitannya dengan gerakan komunisme intenasional. Dalam hal-hal yang mendasar dari politik PKI di Indonesia terbukti merupakan pelaksanaan perintah dari pimpinan gerakan komunisme internasional.

Persiapan PKI:
  1. Membentuk biro khusus di bawah pimpinan Syam Kamaruzman. Tugas biro khusus adalah merancang dan mempersiapkan perebutan kekuasan.
  2. Menuntut dibentuknya angkatan ke-5 yang terdiri atas buruh dan tani yang dipersenjatai
  3. Melakukan sabotase, aksi sepihak, dan aksi teror. Sabotase terhadap transportasi kereta yang dilakukan aksi buruh kereta api ( Januari-Oktober 1964 ) yang mengakibatkan serentetan kecelakaan kereta api seperti di Purwokerto, Kroya, Tasikmalaya, Bandung, dan Tanah Abang. Aksi sepihak, misalnya Peristiwa Jengkol, Bandar Betsy, dan Peristiwa Indramayu. Aksi teror misalnya Peristiwa Kanigoro Kediri. Hal itu dilakukan sebagai persiapan untuk melakukan kudeta.
  4. Melakukan aksi fitnah terhadap ABRI khususnya TNI-AD yang dianggap sebagai penghambat pelaksanaan programnya yaitu dengan melancarkan isu dewan jendral.tujuanya untuk menghilangkan kepercayaan terhadap TNI-AD dan mengadu domba antara TNI-AD dengan presiden soekarno.
  5. Melakukan latihan kemiliteran di lubang buaya pondok gede jakarta. Latihan kemiliteran di lubang buaya .pondok gede jakarta latihan kemiliteran ini merupakan sarana persiapan untuk melakukan pemberontakan.

Pembantaian di Indonesia 1965–1966

Dikutip dari Wikipedia, Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah kegagalan kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI) di Indonesia.

Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai.

Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.

Tanggal: Dimulai pada Oktober 1965; kemudian meluas sepanjang tahun 1966, bahkan hingga tahun 1967.

Lokasi: Seluruh Indonesia.

Korban: Aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia.
Muslim moderat, Hindu, Kristen, dan non-Muslim yang lebih luas.
Tionghoa dari Indonesia. Beragam etnis atau agama minoritas.

Mati: jumlah tidak pasti; mungkin antara 400.000 (perkiraan minimum) dan 2 juta orang.

Tahanan: Antara 600.000 dan 750.000

Pembuat/pencipta: Nahdlatul Ulama, Partai Nasional Indonesia, Tentara Indonesia, 
Berbagai milisi Muslim, Hindu dan Kristen.

Diatur oleh: Soeharto.

Alasan: Resiko perebutan kekuasaan oleh Komunis. Upaya kudeta oleh militer di sisi kiri.

 


Kronologi Cerita Singkat Peristiwa Dari G30S/PKI

Peristiwa G30S PKI bermula pada tanggal 1 Oktober. Dimulai dengan kasus penculikan 7 jendral yang terdiri dari anggota staff tentara oleh sekelompok pasukan yang bergerak dari Lapangan Udara menuju Jakarta daerah selatan. Tiga dari tujuh

jenderal tersebut diantaranya telah dibunuh di rumah mereka masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan.

Sementara itu ketiga target lainya yaitu Soeprapto, S.Parman dan Sutoyo ditangkap secara hidup-hidup. Abdul Harris Nasution yang menjadi target utama kelompok pasukan tersebut berhasil kabur setelah berusaha melompati dinding batas kedubes Irak.

Meskipun begitu, Pierre Tendean beserta anak gadisnya, Ade Irma S. Nasution pun tewas setelah ditangkap dan ditembak pada 6 Oktober oleh regu sergap. Korban tewas semakin bertambah disaat regu penculik menembak serta membunuh seorang polisi penjaga rumah tetangga Nasution. Abert Naiborhu menjadi korban terakhir dalam kejadian ini. Tak sedikit mayat jenderal yang dibunuh lalu dibuang di Lubang Buaya.

Sekitar 2.000 pasukan TNI diterjunkan untuk menduduki sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Lapangan Merdeka, Monas.  Walaupun mereka belum berhasil mengamankan bagian timur dari area ini. Sebab saat itu merupakan daerah dari Markas KOSTRAD pimpinan Soeharto.

Jam 7 pagi, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pesan yang berasal dari Untung Syamsuri, Komandan Cakrabiwa bahwa G30S PKI telah berhasil diambil alih di beberapa lokasi stratergis Jakarta beserta anggota militer lainnya. Mereka bersikeras bahwa gerakan tersebut sebenarnya didukung oleh CIA yang bertujuan untuk melengserkan Soekarno dari posisinya.

Tinta kegagalan nyaris saja tertulis dalam sejarah peristiwa G30S/PKI. Hampir saja pak Harto dilewatkan begitu saja karena mereka masih menduga bahwa beliau bukanlah seorang tokoh politik.

Selang beberapa saat, salah seorang tetangga memberi tahu pada Soeharto tentang terjadinya aksi penembakan pada jam setengah 6 pagi beserta hilangnya sejumlah jenderal yang diduga sedang dicuilik. Mendengar berita tersebut, Soeharto pun segera bergerak ke Markas KOSTRAD dan menghubungi anggota angkatan laut dan polisi.

Soeharto juga berhasil membujuk dua batalion pasukan kudeta untuk segera menyerahkan diri. Dimulai dari pasukan Brawijaya yang masuk ke dalam area markas KOSTRAD. Kemudian disusul dengan pasukan Diponegoro yang kabur menuju Halim Perdana Kusuma.

Karena prosesnya yang berjalan kurang matang, akhirnya kudeta yang dilancarkan oleh PKI tersebut berhasil digagalkan oleh Soeharto. Sehingga kondisi ini menyebabkan para tentara yang berada di Lapangan Merdeka mengalami kehausan akan impresi dalam melindungi Presiden yang sedang berada di Istana.

Baca juga ? Kedutaan Besar AS Melacak Pembunuhan Massal G30SPKI Indonesia (1965) – Arsip Kedubes AS Jakarta Dibuka

 


Kontroversi G30SPKI

Peristiwa ini sampai sekarang masih diliputi banyak misteri. Banyak pertanyaan yang tertinggal, misalnya dugaan bahwa pemberontakan ini mungkin sengaja diciptakan Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno.

Terdapat teori bahwa Soekarno yang melancarkan pembunuhan karena ingin agar kekuasaannya dapat terus berlangsung dan tidak diancam oleh para jenderal angkatan darat.

Baca juga ? Pendudukan Jepang di Indonesia 1942-1945 – Sejarah di Jalan Menuju Kemerdekaan

Teori konspirasi G30S PKI yang persisten (terus-menerus, kukuh)

Meskipun ada dokumen yang mengungkapkan peran Aidit, beberapa pengamat masih mendukung teori alternatif karena dua alasan.

Pertama, mengakui peran Aidit kadang-kadang dianggap hampir mendekati pembenaran rezim Suharto atas pembantaian tersebut. Namun, ada perbedaan besar antara mengakui rencana rahasia Aidit dan menganut klaim palsu Suharto bahwa ratusan ribu komunis terlibat dalam rencana tersebut.

Teori-teori lain juga bertahan karena ada potongan-potongan bukti yang tidak sesuai dengan plot Aidit-Untung yang sederhana. Misalnya, Sukarno dilaporkan telah memperingatkan seorang pengusaha India yang sedang berkunjung untuk segera meninggalkan negara itu karena sesuatu akan terjadi.

Untuk memahami penggalan ini, kita perlu menghargai salah satu hukum pokok konspirasi: jika ada satu persekongkolan, maka mungkin ada lebih dari satu.

Taruhan tinggi dan situasi tegang biasanya mendorong banyak pemain politik untuk berpikir konspirasi. Sukarno, faksi-faksi angkatan darat, badan-badan intelijen lokal dan asing dan bahkan mungkin faksi-faksi yang berbeda di PKI mungkin semuanya memiliki rencana mereka sendiri, beberapa di antaranya meninggalkan kita dengan bukti yang membingungkan.

Meskipun demikian, ada dua misteri yang sangat menarik tentang peristiwa 1 Oktober 1965.

Apakah intelijen Barat menipu Aidit?

Pertama, apakah Aidit memiliki bukti nyata akan kudeta para jenderal yang direncanakan pada akhir bulan itu atau apakah dia sengaja ditipu?

Badan-badan intelijen Barat sangat khawatir PKI akan berkuasa saat Sukarno menolak. Mereka membayangkan perebutan kekuasaan oleh PKI yang prematur akan menjadi alasan untuk mengalahkan partai.

Apakah mereka menemukan saluran untuk memberikan informasi yang menyesatkan kepada Aidit yang membuatnya merencanakan kudeta sebagai tindakan balasan?

Kita mungkin menemukan jawabannya ketika file-file intelijen Barat akhirnya dibuka – kemungkinan besar tidak seumur hidup kita. Akan tetapi, Jakarta adalah kumpulan rumor dan spekulasi yang begitu tajam pada tahun 1965 sehingga sulit untuk menunjukkan bahwa intervensi intelijen Barat telah mempengaruhi pemikiran PKI secara meyakinkan.

Baca juga ? Budi Utomo dan Tonggak Kebangkitan Pribumi di Indonesia Pada Masa Hindia Belanda

 

Tahukah Soeharto?

Kedua, apakah Soeharto tahu lebih banyak tentang rencana Gerakan 30 September daripada yang pernah dia akui?

Bahwa Soeharto bukan salah satu jenderal yang diculik tidaklah signifikan. Dia umumnya dianggap non-politik dan hampir tidak akan terlibat dalam perencanaan kudeta.

Kita juga tidak perlu menganggap serius argumen bahwa perampasan inisiatif Suharto yang sangat efektif setelah lenyapnya komandannya menunjukkan pengetahuan orang dalam.

Para komandan militer dilatih untuk bereaksi secara tegas, dan ciri persekongkolan adalah bahwa mereka sering bekerja untuk keuntungan orang-orang yang bereaksi terhadap mereka, daripada mereka yang berkomplot. Para pembuat komplotan biasanya merasa sulit untuk menyesuaikan rencana mereka yang telah disusun dengan hati-hati dengan keadaan yang berubah, sedangkan responden dapat berimprovisasi.

Namun, ada fakta penting yang mengaitkan Soeharto dengan para komplotan kudeta. Salah satu pemimpin G-30-S, Kolonel Abdul Latief, adalah teman dekat Soeharto. Dia berbicara dengan Suharto pada 29 September dan hanya beberapa jam sebelum pasukan Untung berangkat untuk menangkap para jenderal.

Dalam persidangannya 13 tahun kemudian, Latief mengklaim bahwa pada pertemuan pertama, di rumah Soeharto, dia dan Suharto secara singkat membahas kemungkinan para jenderal senior merencanakan kudeta. Pertemuan kedua berlangsung di sebuah rumah sakit Jakarta, di mana Soeharto melihat putranya Hutomo, yang telah melepuh dirinya dengan sup panas.

Dia mengaku memberi tahu Suharto bahwa aksi sedang berlangsung. “Telah melapor kepadanya,” Latief bersaksi:

Saya mendapat dukungan moral karena tidak ada reaksi dari dia.

Kisah Latief tentang sikap tenang Suharto memang benar. Baik sebelum dan sesudah 1965, modus operandi Soeharto adalah menyimpan kartunya di dekat dadanya dan bergerak tegas pada menit-menit terakhir.

Informasi Latief kepada Suharto mungkin tidak jelas dan ambigu, dan tidak pasti apa yang bisa atau seharusnya dilakukan Suharto pada saat itu. Tetapi Suharto mungkin secara mental siap untuk bertindak pada pagi hari tanggal 1 Oktober dengan cara yang tidak dilakukan oleh rekan-rekannya.

 

Akhir yang tragis di balik kudeta yang menjadi bumerang: bubarnya Partai Komunis Indonesia

Kemudahan selanjutnya yang menghancurkan partai komunis menunjukkan betapa rapuhnya partai itu dibandingkan dengan tentara. Perekonomian yang compang-camping bersama dengan antagonisme lama antara komunisme dan kelompok-kelompok Islam, juga, akan menghadirkan kesulitan luar biasa bagi pemerintahan PKI.

Indonesia komunis tidak mungkin. Itu membuat semuanya menjadi lebih tragis daripada kudeta yang memberikan dalih untuk pembunuhan setengah juta orang.

Baca juga ? PKI Partai Komunis Indonesia – Sejarah, Pendiri, Tujuan, Bubarnya (23 Mei 1914 – 12 Maret 1966)

 


Masa Berakhirnya Peristiwa G30S PKI – KRONOLOGIS PENUMPASAN PKI

Tanggal 1 Oktober 1965

Operasi penumpasan G30S PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali tanpa pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.

Tanggal 2 Oktober 1965

Pada tanggal 2 Oktober, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada pikul 12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.

Tanggal 3 Oktober 1965

Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI – AD tersebut dibawah ke Lubang Buaya.

Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965 titemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh tersebut.. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira – kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.

Tanggal 4 Oktober 1965

Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI – AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.

Tanggal 5 Oktober 1965

Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI – AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.

Pada tanggal 6 Oktober

Dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI – AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

 


Dampak pasca peristiwa G30S PKI

Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD.
Sampai bulan Desember 1965 PKI telah hancur sebagai kekuatan politik di Indonesia.

Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar.
Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif banyak.

Akhir yang tragis

Kemudahan selanjutnya yang menghancurkan partai komunis menunjukkan betapa rapuhnya partai itu dibandingkan dengan tentara. Perekonomian yang compang-camping bersama dengan antagonisme lama antara komunisme dan kelompok-kelompok Islam, juga, akan menghadirkan kesulitan luar biasa bagi pemerintahan PKI.

Indonesia komunis tidak mungkin. Itu membuat semuanya menjadi lebih tragis daripada kudeta yang memberikan dalih untuk pembunuhan setengah juta orang.

 


Monumen Peringatan Hari Kesaktian Pancasila

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa

Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.

Pada 29 September – 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk “Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965” ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko dan Putmainah.

 

Harian rakyat cia g30s pki
Kartun tentang CIA dan G30S PKI dari halaman depan koran PKI “Harian Rakyat” edisi 2 Oktober 1965. Sumber foto: Harian Rakyat / Wikimedia Commons

Misteri G30S PKI Terus Berlanjut

Hamish McDonald membahas misteri ‘musim pembunuhan’ di Indonesia, 50 tahun setelah enam jenderal angkatan darat diseret dari rumah mereka dan dibunuh.

Itu adalah malam seperti yang digambarkan dalam film The Year of Living Dangerously, seperti yang diceritakan oleh seorang presiden yang sembrono di negara yang terjun bebas ekonomi. Truk penuh tentara bergemuruh di jalan-jalan Jakarta yang remang-remang. Mereka menyeret enam jenderal tentara keluar dari rumah mereka, membunuh tiga orang yang berkelahi, mengeksekusi yang lainnya kembali di sebuah kamp di perkebunan karet.

Apa yang terjadi setelah itu sudah diketahui dengan baik. Tentara Indonesia menyalahkan insiden tersebut pada Partai Komunis Indonesia, PKI, dan melakukan pembersihan yang menewaskan satu juta pendukung PKI. Seorang jenderal angkatan darat yang masih hidup, Suharto, merebut kekuasaan dalam apa yang oleh ilmuwan politik Harold Crouch disebut sebagai “kudeta yang merayap”. Disingkirkan, pemimpin kemerdekaan Sukarno meninggal lima tahun kemudian dalam tahanan rumah yang menyedihkan.

Namun 50 tahun kemudian, identitas dan motif orang-orang yang berada di balik “Gerakan 30 September” (G30S dalam akronimnya dalam bahasa Indonesia) tetap tidak terlihat seperti pada tahun 1965. Teori konspirasi berlimpah. Bukannya “upaya kudeta” PKI, apakah itu pemberontakan tentara yang sederhana? Operasi bendera palsu CIA atau MI6? Jebakan yang dilakukan para pelaku yang dekat dengan jenderal yang keluar sebagai pemenang, Soeharto?

Kementerian Luar Negeri Tiongkok membuka arsip dokumen diplomatiknya

Penelitian terbaru, yang mengherankan di Beijing, mulai menyinari sudut gelap sejarah ini. Pada 2008, Kementerian Luar Negeri Tiongkok membuka arsip dokumen diplomatiknya yang mencakup tahun 1961 hingga 1965. Taomo Zhou, seorang sarjana muda yang sekarang di Universitas Teknologi Nanyang Singapura, memeriksanya sebelum arsip itu tiba-tiba ditutup pada pertengahan 2013.

Zhou menemukan satu dokumen yang mempersempit cerita detektif sejarah ini. Pada 5 Agustus 1965, Sekretaris Jenderal PKI, Dipa Nusantara Aidit, berada di Beijing dan memimpin delegasi partai kecil untuk bertemu dengan Ketua Mao Zedong dan tokoh-tokoh Cina lainnya termasuk Perdana Menteri Zhou Enlai.

Sehari sebelumnya, Soekarno sempat pingsan dan dilihat oleh tim dokter China yang dikirim dari Beijing. Mereka berhasil membuatnya berdiri kembali dan mengumumkan bahwa dia tidak dalam bahaya. Memang, pada 17 Agustus, Sukarno melanjutkan pidatonya yang bertele-tele di hari kemerdekaan, kali ini memproklamasikan Jakarta sebagai bagian dari poros “anti-imperialis” dengan Beijing, Hanoi, Phnom Penh, dan Pyongyang. Dia juga mengumumkan dukungan untuk gagasan Aidit tentang “angkatan kelima” pekerja dan polisi bersenjata, yang berpotensi menjadi lawan militer dan polisi.

Tapi kematian Sukarno telah diletakkan di depan pikiran semua orang. PKI telah menjatuhkan gagasan revolusi gaya Cina di pedesaan demi partisipasi dalam politik Jakarta, dan berhasil sampai pada titik di mana ia tampak sebagai pewaris politik Sukarno.

Tetapi permusuhan Tentara Indonesia sangat jelas: ia mengingat pemberontakan revolusioner PKI di Madiun pada tahun 1948 ketika republik Indonesia yang baru dideklarasikan sedang mencoba untuk membebaskan diri dari kekuasaan Belanda. Selama bertahun-tahun, perwira militer telah bersekolah di sekolah militer AS untuk pendidikan “urusan sipil” guna mempersiapkan diri untuk mengambil alih dari apa yang semakin mereka lihat sebagai politisi dan birokrat sipil yang tidak kompeten.

Setelah mendengar laporan kesehatan Sukarno dari Zhou Enlai, Mao langsung ke pokok permasalahan. “Saya pikir sayap kanan Indonesia bertekad untuk merebut kekuasaan. Apakah kamu juga bertekad? ” dia bertanya pada Aidit.

“Jika Sukarno meninggal, itu akan menjadi pertanyaan siapa yang menang,” jawab Aidit, mengangguk, sebelum membahas dua skenario: serangan langsung terhadap PKI, atau upaya militer untuk melanjutkan keseimbangan politik Sukarno antara nasionalis, komunis dan agama. partai yang akan “sulit” bagi PKI.

“Skenario pertama, kami berencana membentuk komite militer,” lanjut Aidit. “Mayoritas dari komite itu akan menjadi sayap kiri, tetapi itu juga harus mencakup beberapa elemen tengah. Dengan cara ini, kita akan membingungkan musuh kita … Jika kita langsung menunjukkan bendera merah kita, mereka akan langsung melawan kita. ”

Skenario ini cocok dengan komite revolusioner yang dideklarasikan malam itu oleh Letkol Untung, komandan penjaga istana kepresidenan yang naif dan naif, untuk mencegah apa yang dia katakan sebagai kudeta yang direncanakan oleh “Dewan Jenderal” pada Hari Angkatan Bersenjata yang mendekat pada tanggal 5 Oktober. , yang sudah membawa banyak pasukan dan baju besi ke ibukota untuk parade besar.

Seperti yang dieksplorasi oleh sarjana Amerika John Roosa dalam bukunya tahun 2006, Pretext for Mass Murder, Untung bekerja sama erat dengan seorang agen PKI bernama Kamaruzaman atau “Sjam” yang telah bekerja di lingkungan militer selama bertahun-tahun sebagai mata-mata yang melapor langsung ke Aidit.

 

Transkrip Mao-Aidit

Transkrip Mao-Aidit memperkuat skenario Roosa bahwa Aidit dan Sjam melancarkan serangan G30S sebagai operasi pendahuluan yang tidak dapat disangkal untuk menggoyahkan kepemimpinan tentara. Panitia pusat PKI lainnya tidak tahu apa-apa, apalagi jutaan anggota biasa. Senjata China yang dijanjikan untuk “kekuatan kelima” (di luar militer dan polisi) dari pekerja dan petani belum tiba. Sebelum ditutup, surat kabar PKI hanya memberikan dukungan hangat kepada kudeta tersebut.

Mungkin itu tidak dimaksudkan untuk membunuh para jenderal tetapi untuk membawa mereka sebagai pengkhianat yang hina di hadapan Sukarno. Tetapi tiga orang tewas selama penangkapan, dan menteri pertahanan, Jenderal A.H Nasution, berhasil melarikan diri. Keputusan untuk membunuh yang lain adalah improvisasi yang panik.

Hanya pembunuhan itu yang dibutuhkan tentara untuk menggambarkan G30S sebagai contoh lain dari pengkhianatan PKI seperti Madiun. Propagandis Angkatan Darat Indonesia dan kemudian pada tahun 1965 tim disinformasi MI6 yang berbasis di Singapura menghiasi mereka dengan detail yang menyeramkan. Kedutaan Besar AS memberi tentara daftar ribuan kader PKI untuk dijadikan sasaran.

Soeharto, yang dengan tegas menguasai Jakarta, mengirim satu kolom pasukan khusus di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo ke jantung dukungan PKI. Setelahnya – Jawa Tengah pada minggu ketiga bulan Oktober, Jawa Timur pada bulan November, Bali pada bulan Desember – Kelompok Muslim dan tradisionalis lainnya diberi wewenang untuk menyerang anggota PKI, menyeret mereka keluar untuk eksekusi massal malam demi malam, sungai tersumbat dengan tubuh.

 

Rezim Orde Baru Suharto dan masih diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia

Versi sejarah, yang melibatkan seluruh PKI, ditetapkan kemudian oleh rezim Orde Baru Suharto dan masih diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Salah satu presiden pasca-Suharto, Abdurrahman Wahid, mencoba meminta maaf atas pembantaian itu, tetapi ditolak oleh organisasi Muslim yang pernah dipimpinnya. Tempat pembantaian di Lubang Buaya (Lubang Buaya), tempat mayat para jenderal disembunyikan di dalam sumur, adalah situs ziarah nasional, dengan “Museum Pengkhianatan PKI” di satu sisinya.

“Orang banyak berinvestasi dalam teori ini,” kata sejarawan Australian National University Robert Cribb pada konferensi sepanjang hari tentang peristiwa 1965 yang diadakan bulan ini di ANU di Canberra, dalam hubungannya dengan Institut Urusan Internasional Australia.

Bahkan dengan dokumen China, misteri tetap ada. Professor Robert Cribb menyukai G30S daripada Rashomon, film Kurosawa yang karakternya mengedepankan versi kontradiktif dari kejadian yang sama. Secara terpusat, mengapa Aidit dan Sjam bertindak? Apakah mereka menemukan rencana tentara asli yang akan dilaksanakan? Ataukah mereka dituntun untuk percaya, secara salah, bahwa ada satu, dengan Sjam menelan umpannya atau bertindak sebagai agen ganda untuk tentara?

Dalam skenario mana pun, mengapa begitu banyak jenderal tinggi tertangkap basah begitu lengah? Mengapa Suharto, sebagai komando pasukan reaksi cepat angkatan darat dan kampanye Konfrontasi melawan Malaysia, tidak dimasukkan dalam daftar sasaran? Mengapa Suharto bereaksi begitu tenang ketika petugas lain, Kolonel Abdul Latief, memperingatkannya pada malam sebelum terjadi sesuatu? Mengapa para pemimpin G30S diambil dari bekas komando Suharto di Jawa Tengah?

 

Operasi agen provokator

Mungkinkah itu adalah operasi agen provokator yang dilakukan oleh para agen Soeharto sendiri? Suharto anti-komunis, tetapi tidak seperti para jenderal yang terbunuh tidak pernah belajar di sekolah militer AS dan kurang betah di elit kosmopolitan Jakarta. Unit Opsus (Operasi Khusus) yang melekat pada komando Soeharto telah membuka hubungan klandestin dengan Inggris, untuk meyakinkan mereka bahwa tentara hanya melakukan upaya tanda-tanda melawan federasi Malaysia yang baru.

Peran Opsus 10 tahun kemudian dalam memicu perang saudara di Timor Portugis sangat mirip dengan skenario ini. Kepala Opsus saat itu Kolonel Aloysius Soegijanto membujuk Uni Demokratik Timor yang konservatif untuk melakukan kudeta pre-emptive terhadap pengambilalihan yang akan segera terjadi oleh partai kiri Fretilin. Seperti di Indonesia setelah G30S, kejadiannya sangat lancar. Fretilin memperoleh kekuasaan dalam konflik berikutnya, tetapi Suharto mendapat alasan untuk intervensi yang diterima oleh kekuatan Barat.

 

Rekan-rekan dekat Soeharto telah terikat erat dengan garis resmi

Ini tetap merupakan dugaan. Rekan-rekan dekat Soeharto telah terikat erat dengan garis resmi, bahkan setelah berakhirnya pemerintahannya pada tahun 1998 dan kematiannya pada tahun 2008. Arsip CIA dan MI6 untuk periode tersebut tetap ditutup, sehingga masih belum diketahui apakah lembaga-lembaga ini terlibat dalam pendiriannya. plot G30S, atau mengetahui rahasia apa pun tentang operasi Opsus / Angkatan Darat.

Kekuatan-kekuatan Barat dengan senang hati menghidupkan cerita bahwa “upaya kudeta komunis” yang memicu ketegangan sosial yang sebelumnya digerakkan oleh PKI dengan mempromosikan ateisme dan redistribusi tanah, yang mengakibatkan hiruk-pikuk pembunuhan entah bagaimana otomatis. Majalah Time memuji pelenyapan PKI sebagai “berita terbaik” di Asia Tenggara untuk waktu yang lama. Kemudian Perdana Menteri Australia Harold Holt menyatakan: “Dengan 500.000 hingga 1 juta simpatisan komunis terlempar, saya pikir aman untuk mengatakan reorientasi telah terjadi.”

 

Reorientasi

“Reorientasi” Indonesia jelas sangat penting di Asia Tenggara, lebih dari Perang Vietnam. Seandainya Sukarno bertahan dalam kekuasaan – dan dia masih bisa mengalahkan Soeharto – Indonesia bisa mengambil jalan yang jauh berbeda. Seperti yang juga ditemukan Zhou di arsip Beijing, orang China tidak hanya berbicara tentang mentransfer senjata kecil untuk “kekuatan kelima” tetapi juga pengetahuan tentang plutonium dan bom atom. Suharto membawa Indonesia kembali ke jalur pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Film dokumenter Joshua Oppenheimer terbaru The Act of Killing dan The Look of Silence telah membangkitkan kembali hati nurani di dalam dan di luar Indonesia tentang korban jiwa dari perubahan ini, meskipun kelompok penyintas PKI masih menghadapi intimidasi dan penyangkalan.

 

Ini adalah genosida politik

Seperti yang dikatakan oleh kanselir ANU dan mantan menteri luar negeri Australia Gareth Evans pada konferensi ANU, pembunuhan di Indonesia adalah satu-satunya pembunuhan dalam skala ini yang belum menjadi perhatian internasional, atau pencarian kebenaran dan rekonsiliasi. “Ini adalah genosida politik yang paling sedikit dipelajari dan paling sedikit dibicarakan pada abad terakhir,” kata Evans. “Mengangkat kerudung di atasnya benar-benar sudah lama tertunda.”

Pada 2012, majalah Indonesia Tempo menerbitkan investigasi sepanjang buku yang merinci banyak pembantaian dan termasuk pengakuan oleh beberapa pelaku. Namun kesimpulannya tetap sama seperti para analis lain atas teka-teki G30S.

Pemerintah pasca-Suharto berturut-turut di Jakarta terus menolak gagasan penyelidikan resmi. Arsip penting, di Washington dan London, tetap ditutup. Terlalu banyak yang diinvestasikan dalam cerita Indonesia pasca 1965, tampaknya, untuk bukti yang muncul bahwa itu mungkin dimulai dengan kampanye penipuan yang mengarah ke pembantaian massal.

Hamish McDonald adalah penulis dua buku tentang Indonesia dan saat ini Journalist-in-Residence di ANU’s College of Asia & the Pacific. Sebuah versi dari artikel ini muncul pertama kali di Nikkei Asian Review.

Baca juga ? SUPERSEMAR (Surat Perintah 11 Maret) – Kontroversi “Lho ini kan perpindahan kekuasaan”

 


Sekarang ada bukti bahwa Suharto mengatur pembunuhan G30SPKI 1965

Dilansir dari University of Melbourne – Australia, sekarang ada bukti bahwa Soeharto mengatur pembunuhan 1965.

Menurut narasi resmi negara, militer dipaksa turun tangan untuk menyelamatkan bangsa dari kudeta komunis yang gagal pada dini hari 1 Oktober 1965. Militer dan sumber dari Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa militer bertindak untuk mengakhiri sebuah Pemberontakan “spontan” oleh “rakyat” – sebuah “ledakan” dari “bentrokan komunal yang mengakibatkan pertumpahan darah” di seluruh negeri – ketika rakyat Indonesia biasa bangkit dalam kemarahan terhadap tetangga komunis mereka.

Peristiwa ini, yang secara pribadi dijelaskan oleh CIA sebagai “salah satu pembunuhan massal terburuk di abad ke-20”, secara kolektif dikenal di Indonesia sebagai “G30S / PKI” – sebuah nama yang menyiratkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) bertanggung jawab atas kegagalan tersebut. kudeta yang dipimpin oleh Gerakan 30 September (G30S).

Sekarang bisa dijelaskan bagaimana Soeharto menggunakan rantai komando yang ada untuk membawa militer ke tampuk kekuasaan. Buku, The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder, menunjukkan bagaimana militer memprakarsai dan melaksanakan pembunuhan massal 1965-66. Artikel ini berfokus pada mekanisme kudeta militer.

 

Memimpikan kudeta

Pada tahun 1965, militer Indonesia memimpikan kudeta. Dalam ambisi ini ia menemukan sekutu kunci dalam pemerintahan Amerika Serikat. Setelah upaya gagal yang didukung AS untuk memisahkan Sumatra dari seluruh Indonesia pada akhir 1950-an, militer dan Amerika Serikat menemukan kesamaan dalam anti-komunisme.

Pimpinan militer yang baru bersatu kembali menerima pelatihan dan pendanaan dari AS, yang berharap militer bisa menjadi “negara dalam negara” yang mampu menggulingkan Presiden Soekarno, yang tidak merahasiakan simpati Marxisnya.

Awalnya, pimpinan militer berniat menunggu Soekarno “turun panggung” sebelum bergerak. Tetapi rencana militer didorong ke depan pada Agustus 1965 oleh kekhawatiran bahwa Soekarno dan PKI menggunakan kampanye Ganyang Malaysia (“Hancurkan Malaysia”) untuk melemahkan monopoli militer atas angkatan bersenjata.

Namun, sebelum memeriksa bagaimana militer berkuasa, penting untuk memahami struktur yang dimilikinya sebelum malam 1 Oktober 1965.

Soekarno, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, memiliki kendali resmi atas angkatan bersenjata. Langsung di bawahnya, Panglima Angkatan Bersenjata (Pangad) Jenderal Ahmad Yani memiliki kendali praktis.

Sejak masa revolusi nasional (1945-49), militer diatur dalam struktur peperangan teritorial. Komando internal, yang dikenal sebagai Kodam, masih sejajar dengan pemerintah sipil hingga tingkat desa. Pada 1965, Yani menguasai struktur komando Kodam ini.

Ia juga memiliki kendali atas sejumlah struktur komando khusus, termasuk Komando Strategis Kostrad yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto, dan Pasukan Khusus RPKAD yang dikendalikan oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.

Selain itu, Yani adalah Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI). KOTI mengkoordinasikan keterlibatan militer dalam kampanye Ganyang Malaysia.

Pada bulan Oktober 1964, Komando Kewaspadaan Mandala (Kolaga) didirikan di bawah rantai komando KOTI di Sumatera dan Kalimantan untuk memfasilitasi kampanye Ganyang Malaysia di tingkat lokal. Komandan Kolaga adalah Marsekal Udara Omar Dhani, dengan Soeharto sebagai wakil pertamanya. Dhani kemudian terlibat dalam Gerakan 30 September dan komando KOTI dan Kolaga menjadi tempat penting konflik internal dalam perjuangan negara Indonesia.

Baca juga ? Kedutaan Besar AS Melacak Pembunuhan Massal G30SPKI Indonesia (1965) – Arsip Kedubes AS Jakarta Dibuka

 

Brinksmanship (tindakan mendorong suatu keadaan berbahaya ke ambang kehancuran demi meraih keuntungan sebesar-besarnya)

Pada bulan September 1964, undang-undang disahkan yang memberikan KOTI kemampuan untuk mengumumkan darurat militer secara internal tanpa terlebih dahulu meminta izin dari Soekarno.

Mungkin saja Soekarno bermaksud menggunakan perintah KOTI dan Kolaga untuk membantu membawa komunis Indonesia ke tampuk kekuasaan. Selain menempatkan sekutunya, Dhani, sebagai Panglima Kolaga, Soekarno menyetujui mobilisasi 21 juta relawan pada Mei 1964. Ini seolah-olah dilakukan untuk mempersiapkan potensi konflik dengan Malaysia, tetapi militer khawatir para relawan akan digunakan untuk menangkal konflik tersebut. kekuatan sendiri.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika militer juga memanfaatkan undang-undang baru tersebut. Komandan Mandala I Sumatera, Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta yang anti-komunis yang gigih, menggunakan komando Kolaga untuk mulai menjalankan uji coba (dikenal sebagai Operasi Singgalang) sejak Maret 1965, dilaporkan untuk menilai kesiapan komando militer untuk memobilisasi warga sipil. populasi. Kelompok milisi sipil yang dilatih selama periode ini kemudian akan menjadi pasukan kejutan untuk penyerangan militer terhadap PKI.

Permainan jurang yang berbahaya ini memuncak pada bulan Agustus 1965, ketika Soekarno mengumumkan pembentukan “kekuatan kelima”, atau tentara rakyat. Meskipun Soekarno mengklaim kekuatan ini hanya akan digunakan untuk memajukan rencananya untuk memobilisasi warga sipil untuk mendukung kampanye Ganyang Malaysia, militer sangat prihatin. Jika tidak lagi memiliki kendali eksklusif atas kekuatan bersenjata di Indonesia, tampaknya tak terelakkan PKI akan berusaha merebut kekuasaan.

Militer tidak mau lagi menunggu Soekarno turun dari panggung. Sebaliknya, ia berusaha untuk memicu bentrokan sesegera mungkin, sementara itu masih merupakan angkatan bersenjata paling kuat di negara itu.

Perhatian utama dari kepemimpinan militer adalah bahwa hal itu tidak boleh dilihat sebagai penghasut kudeta. Soekarno dan PKI terlalu populer. Sebaliknya, seperti yang dijelaskan oleh John Roosa, militer berharap untuk mendorong peristiwa “dalih” yang dapat digunakan oleh militer untuk menggambarkan tindakannya sendiri sebagai tindakan defensif. Tindakan Gerakan 30 September – yang menculik dan membunuh enam anggota kunci pimpinan militer, termasuk Yani, pada dini hari tanggal 1 Oktober – memberikan dalih seperti itu.

Menurut pendapat saya, tindakan militer selanjutnya mengandung unsur-unsur perencanaan dan improvisasi: ketika Soeharto merebut kendali negara Indonesia pada pagi hari tanggal 1 Oktober, ia mengacu pada rencana jangka panjang kepemimpinan militer di bawah Yani, sementara menambahkan sentuhannya sendiri.

 

Kudeta militer Indonesia 1 Oktober 1965

Ketika Gerakan 30 September memenggal kepala militer pada 1 Oktober, tidak melumpuhkan komando militer nasional. Sebaliknya, Soeharto turun tangan untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan Yani, dengan aktif mengabaikan kewenangan Soekarno.

Soeharto juga mempertahankan posisi vitalnya yang strategis sebagai Panglima Kostrad, sementara Panglima RPKAD Wibowo akan membuktikan dirinya sebagai salah satu deputi Soeharto yang paling setia.

 

Soeharto juga merebut posisi Panglima KOTI (Komando Operasi Tertinggi)

Tak banyak yang diketahui, Soeharto juga merebut posisi Panglima KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Menariknya, tidak ada indikasi bahwa sekutu Soekarno, Dhani, berusaha memobilisasi KOTI, meski secara resmi berada di bawah komandonya pada pagi kritis 1 Oktober itu.

Sebelumnya Soeharto diduga hanya membuat satu pengumuman publik pada 1 Oktober, ketika ia menyatakan bahwa pimpinan militer “telah berhasil mengendalikan situasi” dan bahwa baik “pusat” maupun “daerah” kini berada di bawah kendali pemerintah. kepemimpinan militer. Tidak diketahui apa yang dimaksud dengan perintah ini.

Tidak dapat dibuktikan bahwa Soeharto telah melakukan kudeta pada tanggal 1 Oktober, karena bukti yang ada hanya membuktikan bahwa ia telah bertindak tidak patuh kepada Soekarno ketika ia menolak untuk turun dari jabatan Panglima Angkatan Darat ketika diperintahkan untuk melakukannya.

Sekarang terlihat bahwa Soeharto jauh lebih aktif dalam mengkonsolidasikan posisinya dan beroperasi secara independen dari Soekarno. Bukti dokumenter baru menunjukkan Soeharto mengirim telegram ke komandan militer daerah pada pagi hari tanggal 1 Oktober dalam posisi sebagai panglima Angkatan Bersenjata, yang menyatakan bahwa kudeta – yang dipimpin oleh Gerakan 30 September – telah terjadi di ibu kota. Perintah ini kemudian diikuti dengan instruksi yang dikirim dari Komandan Mandala I Sumatera, Mokoginta, yang menyatakan bahwa komandan militer harus “menunggu perintah lebih lanjut”.

“Perintah selanjutnya” ini akan datang tengah malam, ketika Mokoginta mengumumkan melalui radio bahwa semua perintah yang dikeluarkan oleh Soeharto harus “ditaati”, bertentangan langsung dengan Soekarno, yang telah menyuruh Soeharto untuk mundur. Mokoginta kemudian memerintahkan agar “semua anggota TNI [harus] secara tegas dan tuntas memusnahkan… sampai ke akar-akarnya” semua yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September. Ini adalah contoh paling awal dari instruksi semacam itu.

Bahwa Mokoginta mengeluarkan instruksi ini dalam posisinya sebagai Panglima Mandala I adalah penting. Sekarang diketahui bahwa Komando Daerah Sumatera diaktifkan pada pagi hari tanggal 1 Oktober dengan tujuan khusus untuk memfasilitasi kampanye pemusnahan militer. Darurat militer juga diberlakukan di seluruh Sumatera.

Sedangkan di Jakarta, Kostrad dan RPKAD digunakan untuk menumpas secara fisik Gerakan 30 September dari 1 sampai 2 Oktober, dan pada 3 Oktober diumumkan keadaan perang di sana. Selama beberapa hari berikutnya, Soeharto menuntut janji kesetiaan dari para komandan militer di seluruh negeri karena pers dibungkam dan para pemimpin sipil dilumpuhkan.

Asumsi kendali atas sayap bersenjata negara Indonesia dan subordinasi ruang sipil ke kendali militer memuncak dalam pidato Hari Angkatan Bersenjata Soeharto pada 5 Oktober di Jakarta. Saat Soekarno ragu-ragu, Soeharto secara terbuka memantapkan dirinya “sebagai raja yang tak terbantahkan saat itu”. Soeharto tidak mengumumkan kudeta pada 1 Oktober karena memang tidak perlu.

 

Beberapa rantai komando

Pembunuhan dimulai beberapa hari setelah militer menguasai negara Indonesia. Fase kekerasan dapat dilihat dengan jelas. Setelah terlebih dahulu menyatakan niatnya untuk “memusnahkan” Gerakan 30 September pada tengah malam tanggal 1 Oktober, militer memerintahkan warga sipil untuk berpartisipasi dalam kampanye militer mulai 4 Oktober.

Ia kemudian mendirikan “Ruang Perang” di Aceh pada 14 Oktober dengan tujuan eksplisit memfasilitasi kampanye pemusnahan militer.

Setiap saat, tindakan militer dikoordinasikan melalui sistem komunikasi dua arah yang rumit hingga ke tingkat desa. Militer menggunakan banyak rantai komando untuk melaksanakan kampanye ini secara nasional.

 

Aksi g30S yang membagi Indonesia menjadi 4

Aksi Gerakan 30 September membagi Indonesia menjadi empat wilayah komponen: Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Indonesia Timur. Militer memfokuskan fase pertama serangannya di Sumatera dan Jawa, dua pusat ekonomi dan populasi utama negara, sebelum memperluas jangkauannya ke luar.

Ketika militer mulai bergerak untuk melaksanakan “operasi pemusnahan” yang disebutnya sendiri (operasi penumpasan) terhadap kelompok komunis Indonesia, sebuah pembagian kerja mulai berkembang di seluruh negeri.

Sumatera

Di Sumatera, paling masuk akal jika pimpinan militer menggunakan KOTI, Kolaga dan Kodam, di bawah pimpinan Mokoginta di seluruh Sumatera. File internal kedutaan AS menunjukkan bahwa Sumatra digunakan sebagai “kasus uji” oleh militer saat ini karena kemampuan militer untuk menerapkan darurat militer secara internal.

Artinya, pimpinan militer tidak hanya dapat mengontrol angkatan bersenjata tetapi juga penduduk sipil di daerah tersebut. Pembunuhan publik dimulai di wilayah itu dari 7 Oktober, berlanjut ke pembunuhan massal sistematis mulai 14 Oktober.

Jawa dan Bali

Di Jawa dan Bali, militer mengkoordinasikan serangannya melalui komando Kostrad dan RPKAD. Perintah-perintah ini, pada dasarnya, sangat bergerak. Mereka juga dapat beroperasi secara independen dari Kodam setempat, yang setidaknya di Jawa dianggap telah dikompromikan oleh simpati terhadap Gerakan 30 September.

Satu-satunya tempat di mana komando militer lokal keluar untuk mendukung Gerakan 30 September secara nasional adalah di Jawa Tengah (meskipun Bali dan Sumatera Utara memiliki gubernur yang berafiliasi dengan PKI).

Kostrad pertama kali digunakan untuk membubarkan Gerakan di ibu kota sebelum dikirim untuk menjadi ujung tombak serangan militer di Jawa Tengah mulai tanggal 18 Oktober.

Pada bulan Desember, RPKAD dipindahkan ke Bali. Komandan RPKAD juga ditugaskan untuk mengkoordinasikan jaringan nasional regu kematian sipil.

Kalimantan

Di Kalimantan, militer memiliki komando Mandala sendiri di bawah komando KOTI dan Kolaga, seperti yang terjadi di Sumatera. Namun, meski komando Mandala II di bawah Mayor Jenderal Maraden Panggabean memiliki potensi operasional yang sama dengan Mandala I, tampaknya kampanye pemusnahan militer di wilayah itu belum dimulai hingga Oktober 1967. Demikian pula kampanye pemusnahan militer di Indonesia Timur. tidak dimulai sampai Desember 1965.

Alasan penundaan awal ini tampaknya adalah berkurangnya kepentingan strategis dari bidang-bidang ini bagi pemerintah pusat. Sumatera dan Jawa adalah pusat populasi dan ekonomi utama, sementara Bali, hotspot PKI yang terkenal, menjadi prioritas serangan gelombang kedua militer. Ketika kendali militer meluas, begitu pula skala pembunuhan.

Suatu upaya dilakukan pada akhir 1965 untuk memusatkan kampanye pemusnahan militer. Soeharto membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 6 Desember. Meskipun komando ini mendapat banyak perhatian karena perannya dalam mengkoordinasikan serangan militer, pada kenyataannya tidak relevan dengan tahap awal kampanye pemusnahan militer. Pembunuhan terburuk di Aceh, misalnya, di mana mereka pertama kali dimulai, telah berakhir pada saat Kopkamtib didirikan di Sumatera.

Kepemimpinan militer nasional harus memilih untuk mengoordinasikan kudeta

Bahwa kepemimpinan militer nasional harus memilih untuk mengoordinasikan kudeta dan kampanye pemusnahan berikutnya melalui jaringan rantai komando semi-otonom dan wilayah tertentu tidak mengurangi sifat sentralisasi koordinasi militer di balik genosida. Pendekatan semacam itu juga tidak unik di Indonesia. Holocaust Nazi juga dikoordinasikan melalui beberapa rantai komando yang spesifik wilayah.

Baca juga: Adolf Hitler (1889-1945) – Partai Nazi (1920-1945) – Pembantaian Holokaus

Tingkat koordinasi inilah yang memungkinkan pola nasional yang begitu jelas berkembang dalam pembunuhan-pembunuhan berikutnya. Tujuan akhir dari kekerasan ini adalah untuk mengkonsolidasikan perebutan kekuasaan negara oleh militer.

Sekarang jelas bahwa Soeharto memainkan peran sentral koordinasi di balik kudeta militer dan kampanye pemusnahan berikutnya. Militer tidak segan-segan turun tangan untuk menyelamatkan bangsa dari kudeta pada 1 Oktober 1965. Sebaliknya, militer secara aktif bekerja untuk merebut kekuasaan untuk dirinya sendiri, menggunakan aksi Gerakan 30 September sebagai katalisator untuk melaksanakan rencana jangka panjang untuk dilaksanakan.

Dalam memimpin di hari penting ini, Soeharto tidak hanya bereaksi terhadap aksi Gerakan 30 September, tetapi juga mengacu pada perencanaan jangka panjang pimpinan militer nasional. Pembunuhan berikutnya digunakan untuk meneror penduduk dan mencegah segala tantangan terhadap rezim militer baru.

Trauma periode ini masih menghantui Indonesia hingga saat ini. Dua puluh tahun setelah reformasi dan 53 tahun sejak Orde Baru berkuasa, inilah saatnya untuk mulai berbicara secara terbuka tentang kudeta militer Indonesia tahun 1965. Untuk menghentikan propaganda Orde Baru, perlu untuk mengubah versi militer. peristiwa ini di atas kepalanya. Acara-acara ini, saya usulkan, lebih dikenal dengan sebutan “G30S / Militer”.

 


Bacaan Lainnya

 

T

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *