Tax Treaty – Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

18 min read

Tax treaty perjanjian penghindaran pajak berganda

Penjelasan Tax Treaty – Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Pada dasarnya pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak luar negeri menganut asas sumber, artinya atas setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber dari Indonesia dapat dikenakan pajak di Indonesia. Banyak negara telah menandatangani perjanjian pajak (juga disebut perjanjian pajak berganda, atau DTA) dengan negara lain untuk menghindari atau mengurangi pajak berganda. Perjanjian tax treaty itu dapat mencakup berbagai pajak termasuk pajak penghasilan, pajak warisan, pajak pertambahan nilai, atau pajak lainnya.

Comprehensive tax treaties merupakan suatu perjanjian penghindaran pajak yang mengatur hak pemajakan suatu negara yang mengadakan perjanjian terhadap semua atau hampir semua jenis penghasilan.
Sedangkan limited tax treaties adalah perjanjian penghindaran pajak yang mengatur hak pemajakan suatu negara yang mengadakan perjanjian hanya atas suatu jenis penghasilan tertentu; misalnya hanya atas penghasilan yang diperoleh dari lalulintas penerbangan internasional.

Selain perjanjian bilateral, perjanjian multilateral juga ada. Sebagai contoh, negara-negara Uni Eropa (UE) adalah pihak dalam perjanjian multilateral sehubungan dengan pajak pertambahan nilai di bawah naungan UE. Sementara perjanjian bersama tentang bantuan administrasi timbal balik dari Dewan Eropa dan Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) terbuka untuk semua negara. Perjanjian pajak cenderung mengurangi pajak dari satu negara perjanjian bagi penduduk negara perjanjian lain untuk mengurangi pajak berganda dari penghasilan yang sama.

Ketentuan dan tujuan sangat bervariasi, dengan sangat sedikit perjanjian pajak yang sama. Kebanyakan perjanjian:

  • Menentukan pajak mana yang ditanggung dan siapa yang menjadi penduduk dan berhak atas manfaat.

  • Mengurangi jumlah pajak yang dipotong dari bunga, dividen, dan royalti yang dibayarkan oleh penduduk satu negara ke penduduk negara lain.

  • Membatasi pajak suatu negara atas pendapatan bisnis dari penduduk negara lain tersebut untuk penghasilan itu dari suatu bentuk usaha tetap di negara pertama,

  • Menentukan keadaan di mana pendapatan individu yang tinggal di satu negara akan dikenakan pajak di negara lain; termasuk gaji, wirausaha, pensiun, dan pendapatan lainnya.

  • Menyediakan pengecualian untuk jenis organisasi atau individu tertentu.

  • Memberikan kerangka kerja prosedural untuk penegakan dan penyelesaian sengketa.

Tujuan yang dinyatakan untuk masuk ke dalam perjanjian sering kali mencakup pengurangan pajak berganda, menghilangkan penghindaran pajak, dan mendorong efisiensi perdagangan lintas batas. Secara umum diterima bahwa perjanjian pajak meningkatkan kepastian bagi pembayar pajak dan otoritas pajak dalam urusan internasional mereka.

Beberapa pemerintah dan organisasi menggunakan perjanjian model sebagai titik awal. Perjanjian perpajakan berganda pada umumnya mengikuti Konvensi Model OECD dan komentar resmi dan komentar anggota di atasnya berfungsi sebagai pedoman untuk interpretasi oleh masing-masing negara anggota. Model lain yang relevan adalah Konvensi Model PBB, dalam kasus perjanjian dengan negara-negara berkembang dan Konvensi Model AS, dalam kasus perjanjian yang dinegosiasikan oleh Amerika Serikat.

Tujuan Tax Treaty

Seperti sudah diketahui bersama bahwa salah satu tujuan diadakannya tax treaty adalah untuk menghindari adanya pemajakan berganda. Dengan demikian, agar tidak terjadi pemajakan berganda atas penghasilan yang sama yang diterima atau diperoleh oleh subjek yang sama (juridical double taxation) maka suatu tax treaty membatasi hak pemajakan suatu negara untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tersebut.

Ketika masing-masing ketentuan domestik suatu negara sama-sama mengenakan pajak atas penghasilan yang sama; maka berdasarkan tax treaty, hak masing-masing negara tersebut untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan dapat dihilangkan atau dibatasi.

Dengan kata lain, ketika suatu negara mengadakan tax treaty maka negara tersebut setuju untuk dibatasi haknya untuk mengenakan pajak berdasarkan pembatasan yang diatur dalam tax treaty.

Perlu diketahui bahwa tax treaty tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan tax treaty. Adapun pengenaan pajak suatu negara atas suatu jenis penghasilan didasarkan atas ketentuan domestik negara tersebut.

Jadi, apabila dalam tax treaty suatu negara diberi hak pemajakan atas suatu penghasilan tertentu, akan tetapi negara tersebut berdasarkan hukum domestiknya tidak mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut; maka negara tersebut tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tertentu tersebut walaupun tax treaty memberikan hak pemajakan kepada negara tersebut.

Tax treaty perjanjian penghindaran pajak berganda
Ilustrasi artikel: Tax Treaty – Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Sumber foto: Pixabay dan PinterPandai

Dasar Hukump Eksistensi Tax Treaty

Dasar Hukum dalam kerangka hukum negeri:

  1. Undang-undang Dasar 1945

Dalam Pasal 44 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan Negara lain.

  1. Undang-undang No. 24 tahun 2000

  • Pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa Pemerintah membuat Perjanjian Internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek hukum internasionallain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.
  • Pasal 3 dijelaskan bahwa pemerintah mengikatkan diri pada perjanjian internasional antara lain melalui pengesahan.
  • Pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
  • Pasal 10. Sehubungan bahwa sifat dari Tax treaty ini sendiri adalah hal yang teknis administratif dan tidak termasuk dalam perjanjian-perjianjian yang termasuk dalam pasal 10 sehingga harus disahkan melalui undang-undang; maka seluruh tax treaty dianggap telah diratifikasi oleh Negara Indonesia dengan Keputusan Presiden.
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan

  • Pasal 32A menyatakan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah Negara lain dalam rangka perjanjian penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

Dasar Hukum dalam kerangka Hukum Internasional:

  1. Vienna Convention 1969

 Per Seluruh tax treaty yang menjadikan Indonesia sebagai treaty partner

Dasar Hukum dalam kerangka turunan Undang-undang Perpajakan:

  1. PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

Peraturan terkait Surat Keterangan Domisili (SKD) / Certificate of Residence (COR)

            Dalam Ketentuan Perpajakan Indonesia, peraturan terkait tentang SKD/COR untuk Wajib Pajak Luar Negeri agar bisa memanfaatkan tarif tax treaty di Indonesia dapat ditemukan di PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, yang berlaku mulai 1 Agustus 2017.

Menurut pasal 1 angka 6 PER-10/PJ/2017 disebutkan bahwa Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri adalah surat keterangan berupa formulir yang terdiri dari Form DGT -1 atau Form DGT-2 yang diisi oleh Wajib Pajak Luar Negeri; dan disahkan oleh pejabat yang berwenang dari Negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.

Untuk dapat menerapkan tarif Tax Treaty maka setiap Wajib Pajak Luar Negeri (WPDN) harus menyediakan Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri (SKD WPLN) melalui form DGT 1 yang  memenuhi persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) PER-10/PJ/2017.


Pembagian Hak Pemajakan Tax Treaty

Metode yang dipergunakan dalam suatu tax treaty untuk menghindari adanya pemajakan berganda adalah menggolongkan suatu penghasilan berdasarkan suatu penggolongan tertentu (scheduler income); dan menentukan hak pemajakan suatu negara atas jenis-jenis penghasilan yang dihasilkan dari penggolongan penghasilan tersebut. Dengan demikian, hak pemajakan suatu negara atas suatu jenis penghasilan dengan jenis penghasilan lainnya dapat berbeda-beda.

Jadi, penentuan jenis penghasilan merupakan hal penting karena akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki atas penghasilan tersebut. Pasal-pasal yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara atas jenis-jenis penghasilan tersebut disebut sebagai “distributive rules” atau “assignment rules” atau disebut juga dengan “allocation articles”. Pada umumnya, penggolongan penghasilan dalam pasal-pasal yang disebut sebagai distributive rules tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Active income
    Active income
    merupakan penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan. Jenis-jenis penghasilan dalam tax treaty yang dikategorikan sebagai active income yaitu: penghasilan dari kegiatan bisnis (business profit), penghasilan dari transportasi laut, sungai, dan udara, penghasilan dari pemberian jasa profesi yang dilakukan oleh individu (independent personal services), gaji pegawai (dependent personal services), penghasilan direktur, artis dan olahragawan, gaji Pegawai Negeri Sipil, dan penghasilan yang diterima oleh pelajar.
  2. Passive income
    Passive income
    merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk tangible maupun intangible properties (termasuk dalam bentuk financial investment). Jenis-jenis penghasilan dalam tax treaty yang dikategorikan sebagai passive income adalah: penghasilan dari harta tidak bergerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalti, capital gain, serta pensiun.
  3. Other income
    Pasal ini mengatur penghasilan yang tidak dapat digolongkan berdasarkan penggolongan tersebut di atas.

Pembagian hak pemajakan suatu negara berdasarkan distributive rules yang diatur dalam tax treaty pada dasarnya adalah sebagai berikut:

  1. Hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada salah satu negara. Pada umumnya diberikan kepada negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri (residence state).
  2. Hak pemajakan dibagi antara negara domisili (residence state) dan negara sumber penghasilan (source state).

Dalam pembagian hak pemajakan kepada suatu negara, tax treaty yang dikembangkan oleh OECD Model cenderung untuk memberikan hak pemungutan pajak sebanyak mungkin kepada negara domisili. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan yang ada dalam distributive rules dimaksudkan untuk membatasi hak pemajakan negara sumber.

Makna Terminologi ”Shall be Taxable Only in..” dan “Maybe Taxed in…

Dalam model tax treaty yang dikembangkan oleh OECD, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada satu negara yang biasanya; diberikan kepada negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri (residence state) adalah “shall be taxable only in”. Dengan demikian, jika hak pemajakan tersebut hanya diberikan kepada suatu negara maka negara lainnya tidak boleh untuk mengenakan pajak.

Jadi, isu pemajakan berganda atas suatu penghasilan yang diatur melalui penggunaan terminologi ini seharusnya tidak akan terjadi karena hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisili dan negara sumber dilarang untuk mengenakan pajak.

Di sisi lain, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisili dan negara sumber adalah ”may be taxed in”. Makna terminologi tersebut adalah negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Jadi, disamping negara domisili berhak untuk mengenakan pajak, negara sumber juga dapat mengenakan pajak.

Apabila masing-masing negara mengenakan pajak maka terdapat isu pemajakan berganda. Untuk menghindari adanya pemajakan berganda maka negara domisili diwajibkan untuk memberikan keringanan pajak berganda melalui mekanisme tax creditmethod atau income exemptionmethod (tergantung kepada ketentuan domestik negara domisili).

Sumber: Robert Deutsch, Roisin M Arkwright, dan Daniela Chiew, hal. 15. Menurut penulis, untuk Pasal 10 (dividen) dan Pasal 11 (bunga), terminologi “may be taxed in..” juga merujuk kepada negara domisili untuk dapat mengenakan pajak (Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (2)) dan juga merujuk kepada negara sumber untuk dapat mengenakan pajak (pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2)).

Jenis-jenis Penghasilan yang Hanya Dikenakan Pajak di Negara Domisili (Shall be Taxable Only in..)

Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis penghasilan yang berdasarkan OECD Model tax treaty, yang hak pemajakannya diberikan hanya kepada negara domisili (residence state):

Pasal

Jenis Penghasilan

Makna “Shall be taxable only..” dalam Pasal yang Bersangkutan

Pasal 7

Laba UsahaHanya dikenakan pajak di negara domisili, kecuali jika laba usaha tersebut diperoleh dari kegiatan bisnisnya di negara lain (negara sumber) melalui suatu Permanent Establishment (Bentuk Usaha Tetap dan selanjutnya disebut BUT).

Pasal 8

Transportasi Laut, Sungai, dan Udara dalam lalu lintas internasionalHanya dikenakan pajak di negara domisili (atas dasar tempat kedudukan manajemen), kecuali laba yang berasal dari kegiatan usaha transportasi laut, sungai, dan udara yang semata-mata dilakukan hanya dari dan ke dalam suatu wilayah negara lainnya, maka laba dari transportasi laut, sungai, dan udara tersebut dapat dikenakan pajak di negara lainnya tersebut (negara sumber)

Pasal 12

Royalti*Hanya dikenakan pajak di negara domisili

Pasal 13

Capital Gain

Hanya dikenakan pajak di negara domisili atas capital gain yang tunduk dengan Pasal 13 ayat (5)

Pasal 14

Penghasilan ProfesiHanya dikenakan pajak di negara domisili, kecuali apabila individu yang menjalankan kegiatan profesi tersebut mempunyai tempat tetap (fixed base) di negara sumber.

Pasal 15

Gaji PegawaiHanya dikenakan pajak di negara domisili sepanjang:

  • Pegawai tersebut tidak hadir di negara lainnya (negara sumber) dalam periode yang tidak melebihi 183 hari dalam periode waktu 12 bulan yang dimulai dan berakhir di tahun fiskal yang bersangkutan, dan
  • Imbalan tersebut dibayar oleh pemberi kerja yang bukan subjek pajak dalam negeri dari negara sumber penghasilan, dan
  • Imbalan tersebut tidak dibiayakan di negara sumber oleh BUT dari si pemberi kerja.

Pasal 18

PensiunHanya dikenakan pajak di negara domisili

Pasal 19

Gaji Pegawai Negeri SipilHanya dikenakan pajak di negara domisili

Pasal 21

Penghasilan LainnyaHanya dikenakan pajak di negara domisili

*Dalam UN Model, hak pemajakan atas penghasilan royalti diberikan kepada negara domisili dan negara sumber.

Jenis-jenis Penghasilan yang Dapat Dikenakan Pajak di Negara Sumber (Maybe Taxed in..)

Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis penghasilan yang berdasarkan OECD Model tax treaty, yang hak pemajakannya juga diberikan kepada negara sumber (source state), sehingga hak pemajakan dibagi antara negara domisili (residence state) dan negara sumber (source state):

Pasal

Jenis Penghasilan

Makna “May be taxed in..” dalam Pasal yang Bersangkutan

Pasal 6

Penghasilan Harta Tidak BergerakDapat dikenakan pajak di negara sumber atau negara di mana harta tersebut terletak

Pasal 7

Laba UsahaDapat dikenakan pajak di negara sumber atas laba usaha yang diatribusikan kepada BUT yang berada di negara sumber

Pasal 10

DividenDapat dikenakan pajak di negara domisili (Pasal 10 ayat (1)) dan negara sumber (Pasal 10 ayat (2))

Pasal 11

BungaDapat dikenakan pajak di negara domisili (Pasal 11 ayat (1)) dan negara sumber (Pasal 11 ayat (2))

Pasal 13

Capital Gain

Dapat dikenakan pajak di negara sumber, kecuali untuk capital gain yang tunduk dengan Pasal 13 ayat (5), hanya negara domisili yang dapat mengenakan pajak

Pasal 14

Penghasilan ProfesiDapat dikenakan pajak di negara sumber apabila individu yang menjalankan kegiatan profesi tersebut mempunyai tempat tetap (fixed base) di negara sumber.

Pasal 15

Gaji PegawaiDapat dikenakan pajak di negara sumber sepanjang:

  • Pegawai tersebut hadir di negara sumber dalam periode yang melebihi 183 hari dalam periode waktu 12 bulan yang dimulai dan berakhir di tahun fiskal yang bersangkutan, atau
  • Imbalan tersebut dibayar oleh pemberi kerja yang subjek pajak dalam negeri dari negara sumber penghasilan, atau
  • Imbalan tersebut dibiayakan di negara sumber oleh BUT dari si pemberi kerja.

Pasal 16

Gaji DirekturDapat dikenakan pajak di negara sumber

Pasal 17

Artis dan OlahragawanDapat dikenakan pajak di negara sumber atas penghasilan yang diterima oleh artis terkait dengan penghasilan dari pertunjukannya maupun penghasilan olahragawan yang terkait dengan penghasilan dari pertandingannya.

* Pasal 14 OECD Model ini telah dihapus berdasarkan OECD Model tahun 2000. Akan tetapi, sebagian besar tax treaty masih mencantumkan pasal ini.

Dalam kasus ketika negara sumber penghasilan dapat mengenakan pajak (may be taxed in..) maka hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber di negara tersebut dapat diberikan dengan:

1.    Tanpa adanya pembatasan (unrestricted right of tax in the source tax),

Artinya negara sumber dapat mengenakan pajak atas jenis penghasilan tersebut di bawah ini sesuai dengan ketentuan domestiknya tanpa ada pembatasan (misalnya tanpa ada pembatasn tarif). Adapun jenis-jenis penghasilan tersebut adalah berikut:

  • Penghasilan harta tidak bergerak.

  • Penghasilan usaha (business profit) yang diatribusikan kepada Bentuk Usaha Tetap (BUT).

  • Capital gain.

  • Penghasilan profesi yang diterima oleh individu.

  • Gaji yang diterima oleh pegawai.

  • Gaji direktur.

  • Penghasilan yang diterima oleh artis terkait dengan hasil pertunjukannya maupun penghasilan olahragawan yang terkait dengan hasil pertandingannya.

2.    Dengan pembatasan (restricted right of tax in the source tax)

Artinya negara sumber dapat mengenakan pajak atas jenis penghasilan tersebut di bawah ini dengan pembatasan yang diatur dalam tax treaty (misalnya berdasarkan ketentuan domestik Indonesia, pembayaran dividen kepada Wajib Pajak Luar Negeri dikenakan tarif sebesar 20%. Maka ketika pembayaran dividen tersebut ditujukan kepada Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai tax treaty dengan Indonesia maka tarifnya dibatasi maksimal sebesar 10%). Adapun jenis-jenis penghasilan tersebut adalah sebagai berikut: (Sekali lagi, berdasarkan UN Model, penghasilan atas bunga dapat dikenakan pajak (may be taxed in..) di negara sumber dengan pembatasan).

  • Dividen.

  • Bunga.


Tempat Tinggal Pajak (Tax Residency)

Secara umum, manfaat perjanjian pajak hanya tersedia untuk penghuni pajak salah satu negara perjanjian. Dalam kebanyakan kasus, seorang residen pajak suatu negara adalah setiap orang yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang domestik negara tersebut dengan alasan domisili, tempat tinggal, tempat pendirian, atau kriteria serupa.

Umumnya, individu dianggap sebagai penduduk di bawah perjanjian pajak dan dikenakan pajak di mana mereka mempertahankan tempat tinggal utama mereka. Namun, tempat tinggal untuk tujuan perjanjian jauh melampaui ruang sempit tempat tinggal utama. Misalnya, banyak negara juga memperlakukan orang yang menghabiskan lebih dari jumlah hari tetap di negara itu sebagai penduduk.

Amerika Serikat termasuk warga negara dan pemegang kartu hijau (Green Card), di mana pun tinggal, sebagai subjek perpajakan, dan karenanya sebagai penduduk untuk tujuan perjanjian pajak.

Karena tempat tinggal didefinisikan secara luas, sebagian besar perjanjian mengakui bahwa seseorang dapat memenuhi definisi tempat tinggal di lebih dari satu yurisdiksi (yaitu, “tempat tinggal ganda”) dan memberikan klausul “pemutus dasi”.

Klausa seperti itu biasanya memiliki hierarki tiga hingga lima tes untuk menyelesaikan beberapa tempat tinggal, biasanya termasuk tempat tinggal permanen sebagai faktor utama. Residensi pajak jarang berdampak pada status kewarganegaraan atau penduduk tetap; meskipun status kependudukan tertentu berdasarkan undang-undang imigrasi suatu negara dapat memengaruhi residensi pajak. Ini termasuk ‘aturan 183 hari’ ketika hak tempat tinggal dipanggil.

Entitas dapat dianggap sebagai penduduk berdasarkan negara tempat kedudukan manajemen, negara organisasi, atau faktor lainnya. Kriteria sering ditentukan dalam perjanjian, yang dapat meningkatkan atau mengesampingkan hukum setempat.

Mungkin di bawah sebagian besar perjanjian untuk suatu entitas untuk menjadi penduduk di kedua negara; terutama di mana perjanjian adalah antara dua negara yang menggunakan standar yang berbeda untuk tinggal di bawah hukum domestik mereka. Beberapa perjanjian memberikan aturan “pemutus ikatan” untuk residensi entitas, beberapa tidak.

Residensi tidak relevan dalam kasus beberapa entitas dan / atau jenis pendapatan, karena anggota entitas daripada entitas yang dikenakan pajak. OECD telah beralih dari manajemen yang efektif ke penyelesaian kasus per kasus menggunakan Prosedur Kesepakatan Bersama (MAP) untuk menentukan konflik dua tempat tinggal.


Bentuk Usaha Tetap (PE: Permanent Establishment)

  • Sebagian besar perjanjian menyatakan bahwa keuntungan bisnis (kadang-kadang didefinisikan dalam perjanjian) dari penduduk satu negara dikenakan pajak di negara lain hanya jika keuntungan timbul melalui pendirian permanen di negara lain.

  • Banyak perjanjian, bagaimanapun, membahas jenis keuntungan bisnis tertentu (seperti biaya direktur atau pendapatan dari kegiatan atlet dan penghibur) secara terpisah. Perjanjian semacam itu juga mendefinisikan apa yang merupakan pendirian tetap (PE). Sebagian besar tetapi tidak semua perjanjian pajak mengikuti definisi PE dalam Perjanjian Model OECD.

  • Di bawah definisi OECD, PE adalah tempat usaha tetap di mana bisnis suatu perusahaan dijalankan. Lokasi tertentu secara khusus disebutkan sebagai contoh PE, termasuk cabang, kantor, bengkel, dan lainnya.

  • Pengecualian khusus dari definisi PE juga disediakan, seperti situs di mana hanya kegiatan pendahuluan atau tambahan (seperti pergudangan inventaris, pembelian barang, atau pengumpulan informasi) dilakukan.

  • Sementara secara umum perjanjian pajak tidak menentukan periode waktu di mana kegiatan bisnis harus dilakukan melalui lokasi sebelum menimbulkan PE, sebagian besar negara anggota OECD tidak menemukan PE dalam kasus di mana tempat usaha ada dengan biaya kurang. dari enam bulan, tidak ada keadaan khusus.

  • Banyak perjanjian secara eksplisit memberikan ambang batas yang lebih panjang, biasanya satu tahun atau lebih, untuk itu situs konstruksi harus ada sebelum menimbulkan pendirian permanen. Selain itu, beberapa perjanjian, yang paling umum di mana setidaknya satu pihak adalah negara berkembang; berisi ketentuan yang menganggap PE ada jika kegiatan tertentu (seperti layanan) dilakukan untuk periode waktu tertentu. Bahkan di mana PE tidak akan jika tidak ada.

  • Bahkan ketika penduduk satu negara tidak melakukan kegiatan bisnisnya di negara lain melalui tempat atau bisnis tetap; PE mungkin masih ada di negara lain di mana bisnis dijalankan melalui orang di negara lain yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan kontrak atas nama penduduk negara pertama.

  • Dengan demikian, penduduk satu negara tidak dapat menghindari diperlakukan sebagai memiliki PE dengan bertindak melalui agen tergantung daripada melakukan bisnisnya secara langsung. Namun, menjalankan bisnis melalui agen independen umumnya tidak akan menghasilkan PE.

Pengenaan Pajak atas Bentuk Usaha Tetap (BUT)

  • Pada dasarnya pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak luar negeri menganut asas sumber, artinya atas setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber dari Indonesia dapat dikenakan pajak di Indonesia.

  • Pengenaan pajak bagi WPLN yang mempunyai BUT di Indonesia sangat berbeda dengan WPLN yang tidak mempunyai BUT:

  • Bagi WPLN yang mempunyai BUT perlakuan pajaknya dipersamakan dengan WP dalam negeri, sehingga WPLN melalui BUT-nya di Indonesia wajib menghitung, membayar dan melaporkan pajak yang terutang sesuai self assessment.

  • BUT mempunyai hak dan kewajiban seperti WP dalam negeri lainnya, meliputi PPh dan PPN, sampai ke pelaporan SPT, baik SPT Masa maupun SPT Tahunan termasuk pengkreditan pajaknya. Selain kewajiban atas pajak sendiri juga diwajibkan melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai ketentuan peraturan pajak yang berlaku. Hanya saja BUT masih mempunyai kewajiban menyetor PPh Pasal 26 ayat (4) UU PPh sebesar 20% dari Laba Setelah Pajak atau sesuai tarif dalam Tax Treaty.

  • Bagi WPLN yang tidak mempunyai BUT di Indonesia pada dasarnya hanya dikenakan pajak melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain (withholding tax) yang membeli barang atau menerima jasa, yang berada di Indonesia.

  • Apabila terdapat Tax Treaty antara Indonesia dengan negara tempat WPLN tersebut berkedudukan, maka pengenaan PPh-nya mengacu pada Tax Treaty. Tetapi apabila tidak ada Tax Treaty maka pengenaan PPh mengacu pada Pasal 26 UU PPh dengan tarif sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final.

  • PPN tidak dapat dikenakan kepada WPLN yang menjual barang atau jasa, tetapi kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN untuk objek pajak tertentu dialihkan kepada pihak pembeli barang atau penerima jasa yang berada di Indonesia.

  • Oleh karena perbedaan yang sangat signifikan tersebut, di dalam UU Perpajakan yang berlaku di Indonesia sudah ditentukan batasan mengenai ada tidaknya BUT. Secara umum, apabila keberadaan WPLN di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan sudah dianggap mempunyai BUT dan wajib mendaftarkan diri ke KPP untuk mendapatkan NPWP.

  • Tetapi apabila terdapat Tax Treaty, ketentuan ada tidaknya BUT diatur secara spesifik bagi masing-masing negara sesuai Tax Treaty. Sumber: Aviantara


Pajak Pemotongan (Withholding Taxes)

Banyak sistem perpajakan menyediakan pengumpulan pajak dari bukan penduduk dengan mewajibkan pembayar dari jenis pendapatan tertentu untuk menahan pajak dari pembayaran dan mengirimkannya ke otoritas pajak.

Pengaturan pemotongan mungkin berlaku untuk:

  • Bunga.
  • Dividen
  • Royalti
  • Pembayaran untuk bantuan teknis.

Sebagian besar perjanjian pajak mengurangi atau menghilangkan jumlah pajak yang diperlukan untuk dipotong sehubungan dengan penduduk negara perjanjian.

Dalam sistem Withholding Tax, pihak ketiga diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas Negara.

Di akhir tahun pajak, pajak yang telah dipotong atau dipungut dan telah disetorkan ke kas negara itu akan menjadi pengurang pajak atau kredit pajak bagi pihak yang dipotong dengan melampirkan bukti pemotongan atau pemungutan. Sumber: Pajak.go.id


Penghasilan dari Pekerjaan

Sebagian besar perjanjian menyediakan mekanisme penghapusan perpajakan penduduk satu negara oleh negara lain. Yang di mana jumlah atau durasi kinerja layanan minimal tetapi juga memajaki pendapatan di negara yang dilakukan di tempat yang tidak minimal.

Sebagian besar perjanjian juga menyediakan ketentuan khusus untuk penghibur dan atlet dari satu negara yang berpenghasilan di negara lain; meskipun ketentuan tersebut sangat bervariasi. Juga sebagian besar perjanjian memberikan batasan untuk pengenaan pajak pensiun atau penghasilan pensiun lainnya.


Pembebasan Pajak (Tax Exemptions)

Sebagian besar perjanjian menghilangkan dari pajak penghasilan personil diplomatik tertentu. Sebagian besar perjanjian pajak juga menetapkan; bahwa entitas tertentu dibebaskan dari pajak di satu negara juga dibebaskan dari pajak di negara lain.

Entitas yang biasanya dikecualikan meliputi badan amal, perwalian pensiun, dan entitas milik pemerintah. Banyak perjanjian menyediakan pengecualian lain dari perpajakan yang dianggap relevan oleh satu atau kedua negara di bawah sistem pemerintahan atau ekonomi mereka.


Harmonisasi Tarif Pajak

Perjanjian pajak biasanya menentukan tingkat maksimum pajak yang sama yang mungkin dikenakan pada beberapa jenis pendapatan.

Sebagai contoh, suatu perjanjian dapat menetapkan bahwa bunga yang diperoleh oleh bukan penduduk yang memenuhi syarat untuk manfaat di bawah perjanjian itu dikenakan pajak tidak lebih dari lima persen (5%).

Namun, hukum setempat dalam beberapa kasus dapat memberikan tingkat pajak yang lebih rendah terlepas dari perjanjian tersebut. Dalam kasus seperti itu, tarif hukum lokal yang lebih rendah berlaku.


Ketentuan Unik Untuk Pajak Warisan

Umumnya, pajak penghasilan dan pajak warisan dibahas dalam perjanjian terpisah. Perjanjian pajak warisan seringkali mencakup pajak tanah dan hadiah. Umumnya domisili fiskal berdasarkan perjanjian semacam itu didefinisikan dengan mengacu pada domisili dan bukan tempat tinggal pajak.

Perjanjian semacam itu menentukan orang dan properti apa yang dikenakan pajak oleh masing-masing negara pada saat pengalihan properti dengan warisan atau hadiah.

Beberapa perjanjian menentukan pihak mana yang menanggung beban pajak tersebut, tetapi seringkali penentuan tersebut bergantung pada hukum setempat (yang mungkin berbeda dari satu negara ke negara lain).

Sebagian besar perjanjian pajak warisan memungkinkan setiap negara untuk memungut:

  • Pajak domisiliar negara lain atas properti riil yang terletak di negara yang memajaki pajak, properti yang membentuk bagian dari perdagangan atau bisnis di negara yang memungut pajak.

  • Properti bergerak berwujud yang terletak di negara perpajakan pada saat transfer. (sering tidak termasuk kapal dan pesawat yang dioperasikan secara internasional), dan barang-barang tertentu lainnya.

Sebagian besar perjanjian mengizinkan perkebunan atau donor untuk mengklaim pengurangan, pembebasan, atau kredit tertentu dalam menghitung pajak yang mungkin tidak diizinkan untuk non-domisiliar.


Keringanan Pajak Ganda

Hampir semua perjanjian pajak menyediakan mekanisme khusus untuk menghapusnya, tetapi risiko pajak berganda masih berpotensi ada.

Mekanisme ini biasanya mengharuskan setiap negara memberikan kredit untuk pajak negara lain untuk mengurangi pajak penduduk negara tersebut.

Perjanjian tax treaty ini mungkin atau mungkin tidak menyediakan mekanisme untuk membatasi kredit ini, dan mungkin atau mungkin tidak membatasi penerapan mekanisme hukum lokal untuk melakukan hal yang sama.


Penegakan Timbal Balik

Wajib Pajak dapat merelokasi diri dan aset mereka untuk menghindari pembayaran pajak. Beberapa perjanjian dengan demikian mensyaratkan masing-masing negara perjanjian untuk membantu negara lain dalam pemungutan pajak; untuk melawan aturan pendapatan, dan penegakan aturan pajak lainnya.

Sebagian besar perjanjian pajak mencakup, paling tidak, persyaratan bahwa negara-negara bertukar informasi diperlukan untuk mendorong penegakan hukum.


Perjanjian Pertukaran Informasi Pajak (Tax Information Exchange Agreement)

Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk mempromosikan kerjasama internasional dalam masalah perpajakan melalui pertukaran informasi. Ini dikembangkan oleh Kelompok Kerja Forum Global OECD tentang Pertukaran Informasi yang Efektif.

Kelompok kerja terdiri dari perwakilan dari negara-negara Anggota OECD serta delegasi dari:

  • Aruba
  • Bermuda
  • Bahrain
  • Kepulauan Cayman
  • Siprus
  • Isle of Man
  • Malta
  • Mauritius
  • Antilles Belanda
  • Seychelles
  • San Marino

Perjanjian tersebut tumbuh dari pekerjaan yang dilakukan oleh OECD untuk mengatasi praktik pajak yang berbahaya. Kurangnya pertukaran informasi yang efektif adalah salah satu kriteria utama dalam menentukan praktik pajak yang berbahaya.

Mandat kelompok kerja adalah untuk mengembangkan instrumen hukum yang dapat digunakan untuk membangun pertukaran informasi yang efektif.

Perjanjian tersebut merupakan standar pertukaran informasi yang efektif untuk keperluan inisiatif OECD pada praktik pajak berbahaya. Perjanjian ini, yang dirilis pada bulan April 2002, bukan instrumen yang mengikat tetapi berisi dua model untuk perjanjian bilateral. Sejumlah perjanjian bilateral telah didasarkan pada perjanjian ini.


Penyelesaian Sengketa

Hampir semua perjanjian pajak menyediakan mekanisme di mana wajib pajak dan negara-negara dapat menyelesaikan perselisihan yang timbul berdasarkan perjanjian.

Secara umum, badan pemerintah yang bertanggung jawab untuk melakukan prosedur penyelesaian sengketa di bawah perjanjian disebut sebagai “otoritas yang kompeten” dari negara tersebut.

Otoritas yang kompeten umumnya memiliki kekuatan untuk mengikat pemerintah mereka dalam kasus-kasus tertentu. Mekanisme perjanjian seringkali meminta otoritas yang kompeten untuk berusaha menyetujui dalam menyelesaikan perselisihan.


Keterbatasan Manfaat

Perjanjian baru-baru ini dari negara-negara tertentu telah memuat artikel yang dimaksudkan untuk mencegah “perjanjian belanja,” yang merupakan penggunaan perjanjian pajak yang tidak tepat oleh penduduk negara bagian ketiga. Batasan pada artikel tunjangan ini menyangkal manfaat perjanjian pajak bagi penduduk yang tidak memenuhi tes tambahan. Batasan pada Manfaat artikel sangat bervariasi dari perjanjian ke perjanjian, dan seringkali cukup kompleks.

Perjanjian beberapa negara, seperti Inggris dan Italia, fokus pada tujuan subyektif untuk transaksi tertentu, menyangkal manfaat di mana transaksi itu dimasukkan untuk mendapatkan manfaat di bawah perjanjian.

Negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, fokus pada karakteristik objektif dari pihak yang mencari keuntungan. Secara umum, individu dan perusahaan publik dan anak perusahaannya tidak terpengaruh oleh ketentuan pembatasan tipikal dari ketentuan manfaat dalam perjanjian pajak A.S.

Sehubungan dengan entitas lain, ketentuan cenderung menolak manfaat di mana entitas yang mencari manfaat tidak cukup dimiliki oleh penduduk salah satu negara perjanjian; (atau, dalam kasus perjanjian dengan anggota blok ekonomi terpadu seperti Uni Eropa atau NAFTA, oleh “penerima manfaat yang setara” dalam kelompok negara yang sama). Meskipun entitas tidak dimiliki oleh penghuni yang memenuhi syarat, namun, tunjangan sering kali tersedia untuk pendapatan yang diperoleh dari perilaku aktif perdagangan atau bisnis.


Prioritas Hukum

Perjanjian dianggap sebagai hukum tertinggi di banyak negara. Di negara-negara tersebut, ketentuan perjanjian sepenuhnya mengesampingkan ketentuan hukum domestik yang saling bertentangan.

Sebagai contoh, banyak negara UE tidak dapat menegakkan skema bantuan kelompok mereka di bawah arahan UE. Di beberapa negara, perjanjian dianggap sama beratnya dengan hukum domestik.

Di negara-negara tersebut, konflik antara hukum domestik dan perjanjian harus diselesaikan di bawah mekanisme penyelesaian sengketa baik hukum domestik atau perjanjian.


Cara Pemanfaat Tarif Tax Treaty di Indonesia

Untuk dapat memanfaatkan tax treaty yang ada di Indonesia sesuai dengan Per-10/PJ/2017 perusahaan jasa reservasi online harus menyediakan SKD WPLN yang telah ditandasahkan oleh pejabat yang berwenang di negara domisili.

Apabila SKD WPLN tidak terdapat penandasahan oleh pejabat yang berwenang boleh menggunakan Certificate of Residence yang di terbitkan oleh pihak otoritas pajak di Negara mitra tax treaty, sepanjang memenuhi beberapa persyaratan administratif dan persyaratan tertentu.

Syarat adiministratif sesuai dengan pasal 6 Per-10/PJ/2017 adalah  sebagai berikut:

  1. Menggunakan form DGT-1 atau Form DGT-2

  2. Diisi dengan benar, lengkap dan jelas

  3. Ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai dengan kelaziman di Negara mitra atau yurisdiksi Negara mitra

  4. Disahkan dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di Negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.

  5. Digunakan untuk periode yang tercantum pada SKD WPLN

  6. Disampaikan oleh pemotong dan/atau pemungut pajak bersamaan dengan penyampaian SPT Masa, palimng lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT masa untuk masa pajak terutangnya pajak.

  7. Penandasahan oleh Pejabat yang Berwenang dalam form DGT-1 atau form DGT-2

Apabila tidak ada penandasahan dari Pejabat yang berwenang maka dapat digantikan dengan Certificate of Residence yang harus memenuhi ketentuan berikut:

  1. Menggunakan bahasa Inggris

  2. Berupa dokumen asli atau dokumen fotokopi yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu pemotong dan/atau Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak

  3. Paling sedikit mencantumkan informasi mengenai nama WPLN, tanggal penerbitan, dan tahun pajak berlakunya COR dan

  4. Mencantumkan nama dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kelaziman di Negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B

          Untuk pemenuhan persyaratan tertentu, pada dasarnya adalah menjawab setiap pertanyaan yang harus dijawab sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dari WPLN. Persyaratan tertentu ini dapat ditemukan di dalam form DGT-1 Part V, VI dan di form DGT-2 Part IV.

Apabila gagal dalam menjawab dengan benar maka sudah dapat dipastikan WPLN tidak dapat memanfaatkan tarif tax treaty dikarenakan adanya kondisi spesifik sehingga wajib memliki Permanent Establishment di Indonesia; bukan merupakan Beneficial Owner yang dapat memanfaatkan tarif tax treaty atau melakukan penyalahgunaan tarif tax treaty (treaty abuse). Ketentuan persyaratan tertentu ini dapat dilihat di Pasal 8 Per-10/PJ/2017.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *