Malam 1 Suro dan Bulan Suro | Tradisi, Ritual, Misteri, Mitos

9 min read

Malam 1 Suro dan Bulan Suro - Tradisi, Ritual, Misteri, Legenda, Mitos

Misteri Malam 1 Suro dan Tanggal 1 Suro

1 Suro adalah tahun baru Jawa. Puncak perayaan malam 1 Suro, sebagian besar akan dipusatkan di Pantai Selatan. Jumlah pengunjung akan melonjak drastis karena bertepatan dengan malam Jumat Kliwon.

Tanggal 1 Muharam dikenal juga sebagai tanggal 1 Suro. Malam ini dikenal memiliki mitos yang penuh dengan misteri dan hal-hal gaib. Tanggal 1 Muharam dikenal juga sebagai tanggal 1 Suro. Malam ini dikenal memiliki mitos yang penuh dengan misteri dan hal-hal gaib.

Tahun baru Islam atau biasa disebut 1 Muharam adalah tanggal yang penting bagi umat muslim untuk memperingati hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah.

Pada masyarakat Jawa, awal bulan Muharam disebut juga sebagai malam 1 Suro. Tanggal ini juga kerap diwarnai dengan mitos 1 suro.

Mengutip berbagai sumber, nama Suro diciptakan oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645) sejak kerajaan Mataram Islam. Konon, kalender Saka (kalender Jawa dan Hindu) ingin diubah oleh Sultan dengan tujuan untuk bisa sepadan dengan penanggalan Islam.

Di balik itu, Sultan juga ingin menyatukan 2 kubu masyarakat Jawa yang terpecah akibat berbeda keyakinan, yakni penganut Kejawen (kepercayaan orang Jawa dengan Putihan (Kepercayaan Islam).

Baca juga: Kalender Jawa – Penanggalan Jawa – Sistem, Metode Perhitungan

Malam 1 Suro dan Bulan Suro - Tradisi, Ritual, Misteri, Mitos
Budaya kirab (pawai) sangat kental di pulau jawa, dengan berfilosofi agar sesama manusia menjadi guyub (rukun) dalam hal berbudaya. Artikel: Malam 1 Suro dan Bulan Suro – Tradisi, Ritual, Misteri, Mitos. Sumber foto: Wikimedia Commons

Mitos-Mitos dan Misteri Malam 1 Suro

Malam ini diyakini sebagai malam yang sangat sakral dan berkaitan dengan hal-hal mistis dan penuh misteri. Berikut beberapa hal misteri yang dipercaya pada 1 Suro.

1. Tidak mengadakan pesta pernikahan

Budaya Jawa sangat memantang jika orang tua menikahkan anaknya pada bulan Suro. Kepercayaan mereka mengatakan jika tetap dilakukan, keluarga akan mendapat kesialan.

Beberapa mengatakan ini hanyalah mitos belaka. Alasanya, jika masyarakat mengadakan pesta pada malam Suro, ini dianggap akan menyaingi ritual keraton yang akan dirasa sepi. Selain pesta pernikahan, pesta-pesta lainnya seperti sunatan dan lainnya juga dilarang. Sampai sekarang, mitos ini masih dipercaya oleh masyarakat Jawa.

2. Tak boleh keluar rumah

Saat malam 1 suro, masyarakat Jawa percaya lebih baik berdiam diri di rumah. Karena jika pergi keluar, kesialan dan hal buruk bisa saja menimpa.

3. Tak boleh berbicara

Beberapa orang memilih untuk melakukan ritual masing-masing saat 1 Suro. Beberapa orang di antaranya adalah tapa bisu. Saat mengikuti ritual tapa bisu, yakni mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta sangat dipantang untuk berbicara satu kata pun. Makan, minum serta merokok juga sangat dilarang untuk dilakukan saat ritual tersebut.

4. Tidak melakukan pindah rumah

Menurut Primbon orang Jawa, ada yang disebut hari baik dan ada pula hari buruk. Sebagian orang percaya untuk tidak melakukan pindahan rumah saat malam 1 suro karena dianggap bukan hari baik.

5. Makhluk halus bergentayangan

Mitos yang tidak kalah menyeramkan adalah akan banyak makhluk halus bergentayangan pada Malam 1 Suro. Meski sudah tidak berkembang luas, namun beberapa kalangan masih meyakini bahwa di Malam 1 Suro, arwah leluhur mereka akan pulang ke rumah. Makanya, ada larangan untuk keluar rumah pada malam 1 Suro ini, untuk menyambut arwah leluhur yang datang.

Selain dipercaya sebagai hari lebarannya makhluk gaib, malam satu suro juga dipercaya sebagai hari kembalinya arwah leluhur ke rumah.

Sebagian masyarakat Jawa pada masa lalu lebih sakral lagi dalam menanggapi datangnya pergantian tahun Hijriah. Banyak di antara mereka yang meyakini bahwa di malam satu suro, arwah leluhur yang telah meninggal dunia akan kembali dan mendatangi keluarganya di rumah.

6. Malam 1 suro dipercaya sebagai datangnya Aji Saka ke Pulau Jawa

Aji Saka dapat membebaskan rakyat dari genggaman makhluk gaib.

Aji Saka berasal dari Bumi Majeti. Bumi Majeti sendiri adalah negeri antah-berantah mitologis, akan tetapi ada yang menafsirkan bahwa Aji Saka berasal dari Jambudwipa (India) dari suku Shaka (Scythia), karena itulah ia bernama Aji Saka (Raja Shaka).

Legenda ini melambangkan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke pulau Jawa. Akan tetapi penafsiran lain beranggapan bahwa kata Saka adalah berasal dari istilah dalam Bahasa Jawa saka atau soko yang berarti penting, pangkal, atau asal-mula, maka namanya bermakna “raja asal-mula” atau “raja pertama”. Mitos ini mengisahkan mengenai kedatangan seorang pahlawan yang membawa peradaban, tata tertib dan keteraturan ke Jawa dengan mengalahkan raja raksasa jahat yang menguasai pulau ini.

Legenda ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka adalah pencipta tarikh Tahun Saka, atau setidak-tidaknya raja pertama yang menerapkan sistem kalender Hindu di Jawa. Kerajaan Medang Kamulan mungkin merupakan kerajaan pendahulu atau dikaitkan dengan Kerajaan Medang dalam catatan sejarah.

Bukan hanya dipercaya membawa berkah, malam 1 suro juga dianggap membawa sial bagi mereka yang melanggar pantangan menurut kepercayaan setempat.

Baca juga: Mitos Ayam Berkokok di Malam Hari, Siang Hari dan Pagi Hari – Simbol dan Arti Makna

Malam 1 Suro dan Bulan Suro - Tradisi, Ritual, Misteri, Legenda, Mitos
Kerbau bule selalu menjadi pusat perhatian saat kirab malam 1 suro di keraton Surakarta. Hewan kesayangan Susuhunan Paku Buwono tersebut setiap tahunnya dikirab mengelilingi keraton dalam acara kirab (pawai atau iring-iringan dalam suatu rangkaian upacara atau adat) malam 1 Suro atau 1 Muharram. Sumber foto: Wikimedia Commons

Tradisi Malam 1 Suro

1. Tapa bisu

Tapa bisu adalah tradisi yang dilakukan oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta yang digelar setiap malam 1 Suro, sesuai penanggalan kalender Jawa.

Tapa bisu dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta di malam 1 Suro tanpa berbicara. Tradisi mubeng beteng (keliling benteng) tanpa berbicara ini diprakarsai oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam pertama yang juga mencetuskan sistem penanggalan Jawa.

Dahulu kala, ritual ini dilakukan oleh para prajurit Keraton. Tidak sekadar tradisi, tapi kegiatan tersebut juga dalam rangka mengamankan lingkungan Keraton karena saat itu belum ada benteng yang mengitari lingkungan Keraton. Sebagai tradisi, mubeng beteng tidak mengalami perubahan sejak pertama kali dilakukan. Ritual tersebut memutar dimulai dari sisi kiri atau barat Keraton, arah ini sesuai falsafah Jawa. Kiri dalam bahasa Jawa berarti kiwo, yang berarti tujuan mubeng beteng adalah ngiwake atau membuang hal-hal buruk.

2. Naik ke puncak Gunung Lawu di Jawa Timur

Pada malam 1 suro ribuan orang berbagai daerah naik ke puncak Gunung Lawu di Jawa Timur. dengan beragam tujuan. Salah satunya sebagai bentuk lelaku. Mereka berkeyakinan, dengan naik ke puncak Pringgodani dan melakukan topo broto (menyepi) di puncak keinginannya bisa terkabul. Ngalap berkah agar terkabul usahanya lancar, naik pangkat dan jika berhasil mereka akan mengadakan selamatan.

“Masih banyak lokasi di gunung Lawu yang masih di sakralkan seperti lereng sebelah utara, yang dipercaya sebagai pusat atau istana makhluk halus”.

4 spot ritual di Gunung Lawu

Tempat ritual di Gunung Lawu sendiri terbagi menjadi 4 spot terpisah antara lain, Sendang Jolo Tundo, Sendang Drajat, Hargo Dalem, dan Hargo Dumilah. Masing-masing spot memiliki keunikan tersendiri.

Sendang Jolo Tundo

Terdapat mata air di puncaknya. Menurut kepercayaan yang berkembang, spot ini dijaga olah sesosok makhluk gaib yang menyerupai ular naga (nogorojo).

Sendang Derajat

Diketahui sebagai tempat petilasan raja terakhir Majapahit yakni, Prabu Brawijaya V. Tempat ini sering digunakan untuk bersemedi, berdoa, dan mengambil air suci.

Hargo Dalem

Wahyu menceritakan bahwa sebenarnya Gunung Lawu menyerupai sebuah kerajaan. Bekas-bekas kerajaan Majapahit masih ada di sana.

 Hargo Dumilah

Di tempat ini sudah ada tugu khusus untuk mereka yang ingin bertapa, meditas, bakar dupa dan meletakkan sesajen.

Baca juga ? Gunung Lawu tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur – Mitos, Tempat Wisata, Film

Gunung lawu pulau jawa
Gunung Lawu tepatnya di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur – Mitos, Tempat Wisata, Film. Sumber foto: Buitenzorger / Flickr

3. Ngumbah keris / Jamasan Pusaka

Jamasan pusaka atau ngumbah keris (mencuci keris) dilakukan dalam rangka merawat dan melestarikan warisan serta kenang-kenangan para leluhur yang merupa berbagai wujud. Pusaka merupakan hasil karya dalam bidang seni dan keterampilan yang diyakini mempunyai kesaktian. Jamasan pusaka dilakukan dengan memandikan pusaka dengan cairan tertentu.

4. Larung Sesaji

Larung sesaji merupakan ritual sedekah alam yang dilakukan dengan cara melarung berbagai bahan ke laut, gunung, atau tempat-tempat tertentu yang dianggap memiliki “kesakralan”. Secara makna spiritual, tradisi ini dianggap sebagai salah “kesadaran kosmos”, yaitu penghargaan manusia terhadap alam. Atau yang berarti ungkapan terima kasih kita kepada alam yang telah memberi manusia penghidupan

5. Ruwatan

Ruwatan dalam arti yang sebenarnya berarti pembersihan dari semua kesalahan dan dosa yang dilakukan. Ritual ini berasal dari budaya kuno jaman jawa kuno yaitu ritual pemurnian jiwa.

Ruwatan biasanya digelar secara masif dengan menggelar pertunjukan wayang kulit yang ceritanya sudah diatur khusus untuk pelaksanaan ruwat, seperti Baratayuda, Sudamala, dan Kunjarakarma. Kemudian diminum atau diperciki air dari sumur tertentu yang telah diberkati dengan doa oleh seorang kyai. Terakhir, potong sedikit rambut orang dan seremonial membuang rambut ke sungai.

Masyarakat kejawen meyakini bahwa musibah dan bencana dapat ditolak dengan cara melakukan ritual tertentu di bulan suro. Karena itulah kemudian dikenal beberapa tradisi malam satu suro seperti ruwatan untuk buang sial.

Tradisi “upacara /ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan di dalam hidupnya. Contoh prosesi unduh-unduh petirtaan, dilakukan pengambilan air dari tujuh sumber di sekitar Trowulan. Mata air tersebut bukan sembarangan, konon airnya dianggap suci karena merupakan peninggalan dari Kerajaan Majapahit.

Air yang diambil dari 7 sumber petirtaan yang digunakan untuk prosesi ruwatan. Dipimpin oleh tokoh adat setempat, proses ruwatan dimulai dari penyiraman air suci yang sudah dicampur dengan bunga setaman.

Air tersebut dibasuhkan mulai dari bagian kepala hingga kaki peserta yang diruwat. Iringan doa-doa menambah kesakralan upcara ruwatan. Rambut para peserta juga dipotong sebagai simbol membuang sial. Kemudian, tangan para peserta diberi ikatan tali sebagai lambang untuk memperkuat tekad dalam meraih suatu keinginan. Nantinya seluruh kain, pakaian, serta rambut yang sudah dipotong akan dilarung bersama-sama.

6. Tirakatan atau kenduri

Tirakatan adalah menahan hawa nafsu (seperti berpuasa, berpantang) dan beberapa orang mengasingkan diri ke tempat yang sunyi seperti di gunung. Ada juga yang tidak tidur semalam suntuk dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).

Ritual terakhir pada malam satu suro yang terakhir adalah tirakatan. Ritual Tirakatan diisi dengan berbagai kegiatan menyendiri seperti wirid. Bagi seseorang yang masih memegang teguh tradisi Jawa, Ritual Malam 1 Suro yang satu ini wajib dilakukan.

Lek-lekan (dalam bahasa jawa) yang artinya tidak tidur semalaman.

Lek-lekan adalah tradisi tidak tidur sepanjang malam. Hal ini dilakukan oleh banyak orang Jawa yang berada di Solo, Semarang, Yogyakarta atau sekitarnya yang masih meyakini tradisi tersebut. Lek-lekan biasanya dilakukan dengan berkumpul di serambi depan rumah bersama tetangga, sembahyang bersama, bercakap-cakap dan makan makanan tradisional.

7. Kungkum

Kungkum adalah tradisi bersemedi sambil terendam air, biasanya di sungai atau danau. Ini dilakukan agar bisa introspeksi diri. Ada sebagian orang yang lebih memilih menyendiri di tempat yang sepi dan sejuk seperti sungai untuk mulai memikirkan kesalahan apa yang telah mereka lakukan selama ini, dan bagaimana menjalani hidup.

8. Pawai obor malam 1 Suro

Pawai obor biasa diikuti berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dan sesepuh di tempat tradisi itu digelar. Seperti namanya, pawai obor digelar dengan membawa obor dan berjalan mengelilingi lingkungan tempat mereka tinggal.

Pawai biasa dimulai selepas shalat Isya, mereka yang mengikuti pawai akan berkumpul di lapangan. Keriuhan rombongan pawai ini akan menarik perhatian warga yang menonton di pinggir jalan. Tidak hanya berpawai, warga juga menghias halaman rumah mereka untuk menyambut pergantian tahun ini.

Malam 1 Suro dan Bulan Suro - Tradisi, Ritual, Misteri, Mitos
Pawai sesaji. Malam 1 Suro dan Bulan Suro – Tradisi, Ritual, Misteri, Mitos. Sumber foto: Wikimedia Commons

Tradisi dan Ritual Bulan Suro

Di Indonesia, memang ada berbagai banyak cara yang dilakukan untuk memperingati 1 Muharam atau 1 Suro, Contohnya:

1. Berdoa dan menyantuni anak yatim

Ada pula yang melakukan pawai obor di beberapa daerah dan di masyarakat Jawa merayakan ritual malam 1 Suro.

Ini menandakan beragam budaya dan adat tradisi yang dimiliki Indonesia masih digenggam erat oleh masyarakat.

Hanya saja, hal yang tak boleh dilewatkan pada Tahun Baru Islam atau 1 Muharram adalah mendekatkan diri kepada Tuhan dibanding percaya dengan mitos satu suro.

2. Ritual Jamasan

Pantai Parangtritis menjadi salah satu spot yang memiliki nilai magis tinggi di Yogyakarta. Tak aneh apabila tempat ini kerap menjadi langganan masyarakat yang melakukan ritual 1 Suro. Banyak dari masyarakat yang melakukan ritual Jamasan atau lebih dikenal dengan cuci keris atau benda pusakan lainnya diikuti dengan tradisi melarung persembahan.

3. Membersihkan benda-benda pusaka

Selama bulan Suro, masyarakat akan melakukan ritual membersihkan benda-benda pusaka peninggalan leluhur seperti keris dan tombak yang dipercaya memiliki kekuatan gaib, serta mengadakan sedekah bumi sebagai salah satu cara mempertahankan kearifan lokal.

4. Khususnya di wilayah Solo, salah satu tujuan lelaku spiritual (tirakat) adalah gunung Lawu yang juga menjadi salah satu tujuan ritual Keraton Solo. Selama ini gunung Lawu dipercaya sebagai pusat kegiatan spiritual di tanah Jawa dan ada hubungan dekat dengan keberadaan Keraton di tanah Jawa. “Setiap tiap bulan Suro selalu diadakan upacara sesaji di gunung Lawu,” lanjutnya.

5. Tapa Bisu dan Mubeng Beteng

Keraton Yogyakarta Hadinigrat juga memiliki tradisi lain bernama Tapa Bisu dan Mubeng Beteng, yaitu ritual dengan mengelilingi benteng.

Masyarakat Jawa khususnya Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Kasepuhan Cirebon tak akan melewatkan ritual rutinnya setiap tahun untuk memperingati malam yang sakral itu.

Mengelilingi benteng keraton, memandikan benda-benda pusaka, berendam di kali, mandi kembang, dan mengarak kerbau bule merupakan beberapa ritual yang dilakukan dan dianggap membawa keberkahan pada malam 1 suro.

6. Kirab kebo bule

Keraton Surakarta Hadinigrat juga kerap melakukan ritual 1 Suro. Salah satu ritual yang terkenal di tempat ini adalah Kirab Kebo Bule. Sesuai dengan namanya, Kirab Kebo Bule melibatkan kerbau di dalamnya. Nantinya sejumlah kebo bule yang dipercaya keturunan Kiai Slamet akan berjalan sambil mengawal pusaka keraton. Tujuannya adalah memohon berkah dan keselamatan.

Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai tradisi Kirab Kebo Bule setiap Malam Satu Suro. “Kirab” berarti suatu “iring-iringan” atau “arak-arakan”, sementara “kebo” dalam bahasa Jawa berarti “kerbau”. Keraton Kesunanan Surakarta sendiri diketahui memiliki beberapa ekor kerbau ‘berkulit bule’.

Mengapa kerbau? Karena merupakan refleksi dari apa yang dilakukan oleh Paku Buwono II pada 1725, yang tengah mencari lokasi untuk keraton Surakarta yang baru. Ketika itu, ia melepaskan kebo-kebo bule, dan para abdi dalem keraton mengikuti kerbau tersebut hingga berhenti di lokasi Keraton Kasunanan Surakarta yang sekarang.

Baca juga ? Sejarah Kerbau Kyai Slamet salah satu Pusaka Keraton Kasunanan Surakarta

7. Ritual 1 Suro di Gunung Kawi

Gunung Kawi sering dikaitkan dengan ritual pesugihan untuk mencari kekayaan. Namun sebenarnya tempat ini juga disakralkan untuk ritual 1 Suro. Gunung Kawi memiliki 2 tempat utama yang memiliki nilai magis tinggi yakni Pesarean Imam Soedjono dan Pesarean Kyai Zakaria.

Dua tempat ini dianggap sebagai tempat keramat. Setiap 1 Suro pesarean ini kerap didatangi masayarakat untuk memanjatkan puji syukur kepada Allah.

Bacaan Lainnya

Unduh / Download Aplikasi HP Pinter Pandai

Respons “oooh begitu ya…” akan lebih sering terdengar jika Anda mengunduh aplikasi kita!

Siapa bilang mau pintar harus bayar? Aplikasi Ilmu pengetahuan dan informasi yang membuat Anda menjadi lebih smart!

Sumber bacaan: Neliti,

Pinter Pandai “Bersama-Sama Berbagi Ilmu”
Quiz | Matematika | IPA | Geografi & Sejarah | Info Unik | Lainnya | Business & Marketing

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *